Judul di atas kayaknya cukup pedas buat di mata dan telinga, terutama buat orang yang sudah buru-buru mau main hakim sendiri. Betapa tidak, bukankah kita bangsa yang relijiyes? Dikit-dikit semua dikaitkan dengan agama. Mau apa-apa berdoa dulu? Selalu inget dosa dan pahala? Apalagi urusan surga dan neraka. Perkara diksi surga dan neraka minjem dari siapa, tapi yang penting kuncinya sudah dipegang duluan kan?
Pada tahun 1999, seorang satiris dan komika terkenal yakni George Carlin (1937-2008) melakukan stand-up dengan tema Religion Is Bullshit. Pertunjukan ini terkenal dan rekamannya masih bisa dilihat secara online. Dalam penampilannya, George Carlin menyampaikan kritik yang cukup pedas, antara lain soal Tuhan yang dianggap inkompeten dan bisa jadi cuek, agama yang butuh duit tapi nggak bayar pajak,kebiasaan orang yang berdoa melulu tapi membingungkan; Jika doanya tidak masuk rencana Tuhan, terus apa iya mau maksa? Hingga Carlin berseloroh soal pilihan untuk menyembah Matahari tapi tidak berdoa untuknya. Alih-alih ia berdoa untuk Joe Pesci; seorang aktor keturunan Italia yang terkenal melalui peran film-film Mafia, dan dianggap bisa menyelesaikan masalah lebih cepat dengan pemukul baseball ketimbang Tuhan.
Apa yang dilakukan Carlin adalah sebuah kemewahan yang bisa dilakukan di negara maju. Kritik soal agama tidaklah berujung kepada kekerasan, atau perlakuan yang bersifat diskriminatif, menindas bahkan mengancam nyawa orang seperti halnya persekusi. Lain halnya jika dilakukan di negara berkembang. Sudah pasti yang dituju adalah subyek pelaku, dilihat latar belakangnya. dan kemudian diuliti habis-habian melalui ancaman dan tuntutan. Beberapa kejadian di Indonesia membuktikan hal tersebut. Kok bisa? Jika dilihat secara ilmiah dan statistik, agama masih jadi urusan penting di negara-negara yang relatif berkembang. Contoh terbaru adalah penelitian yang dilakukan PEW Research Center (2020), memperlihatkan bahwa untuk di kawasan Asia Pasific, negara-negara yang masuk kategori religius adalah Indonesia, India dan Philipina sedangkan yang berada di spektrum kebalikannya adalah Australia, Jepang dan Korea. Kaitannya dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya? Sila baca sendiri untuk menarik kesimpulan bagaimana korelasi agama berkaitan dengan kemiskinan, teknologi dan pendidikan.
Terlepas dari ragam kontroversi di atas serta praktek apapun yang dilakukan dalam kerangka berTuhan dan beragama, hal pertama yang tidak dapat dibantah adalah agama juga berurusan dengan uang. Ketika agama menjadi struktur, maka harus ada yang dapat menghidupi struktur tersebut, terlebih struktur berkaitan dengan organisasi. Untuk bisa menghidup siapapun yang ada di dalam struktur, maka harus ada dana yang tersedia. Darimana itu berasal? Jelas dari orang yang percaya dan menjadi pengikut. Maka tidak mengherankan jika agama jadi menarik, ketika beberapa orang hidup didalamnya dan menjadikan agama sebagai pekerjaan. Entah sebagai petinggi, pemuka atau pengajar. Semua butuh uang. Apalagi untuk lembaga sosial keagamaan tidak dikenakan pajak, meski dapat diasumsikan putaran uang yang ada cukup tinggi. Nggak heran jika Carlin mengkritik, bahwa Tuhan serba bisa tapi urusan fulus tetap bergantung kepada manusia. Jadi agama ada untuk menghidupi sebagian orang di dalamnya, atas kerelaan sebagian yang lain.
Kedua, suka atau tidak agama memberikan kenyamanan bagi para pemeluknya. Beda ya dengan para ateis yang rasional tapi ternyata kesepian itu? Bagaimana tidak, sebab dengan beberapa agama sekaligus maka hari libur bisa jadi lebih banyak. Akan selalu ada perayaan dan ritual yang berkaitan dengan putaran uang. Orang menjadi lebih suka belanja dan menghabiskan duit pada hari-hari raya tanpa harus pikir panjang besok harus cari lagi. Toh katanya semua rejeki udah ada yang ngatur. Ada kegembiraan dan keramaian kolektif yang berkaitan dengan akar komunal serta kekeluargaan. Ini diperkuat dengan kebiasaan untuk pulang kampung berbondong-bondong menghabiskan bahan bakar, waktu dan menimbulkan kemacetan. Toh ekonomi jadi bergerak kan? Pastinya kan senang bisa kumpul bareng, meski pertanyaannya itu itu aja; entah kalo bukan"kapan kawin" ayau "kok gemukan".
Ketiga, agama memberikan identitas tersendiri. Ini jadi politik yang paling penting terutama buat di negara seperti Indonesia. Menjadi pemeluk mayoritas tentunya punya keuntungan secara politik ketimbang yang lain. Apalagi jika ditambah dengan atribut suku, ras, etnis, sosial ekonomi yang juga sudah mayoritas. Gimana nggak keren. Makanya dulu becandaan jaman Orba soal politik identitas ini juga cukup keras; seseorang yang Jawa, muslim, dan tentara angkatan darat, sudah pasti paling tinggi nilainya ketimbang seseorang Tionghoa, Buddhis dan pedagang pula. Sisanya yang berupa sekian banyak varian ada di tengah-tengah. Identitas menentukan posisi dan prospek ke depan. Sampai sekarang politik identitas ini juga tetap buas. Jika politik identitas di negara-negara maju digunakan sebagai alat untuk memperjuangkan hak-hak sipil kaum minoritas, maka di negara berkembang dipakai buat bahan agenda kepentingan diskriminasi bahan segregasi atau pemisahan dari kelompok mayoritas. Tapi paling tidak, ketika ada kejelasan lu siapa maka itu penting. Nggak heran juga kalo di jaman Orba dulu banyak yang pindah agama -entah sekarang- untuk menaikkan status sosial.
“My dear, religion is like a penis. It’s a perfectly fine thing to have and take pride in, but when one takes it out and waves it in front of my face we have a problem.” ~attributed to Maggie Smith.
Keempat, agama memberikan kedamaian. Setidaknya bagi para antar elit beragama yang sudah nyaman dengan posisi masing-masing. Bisa cipika cipiki, ngopi cantik ngomong kerukunan, persamaan, perbedaan, relijiyesitas dan saling mendoakan. Saling lirik dan kemudian bergunjing di belakang. Beda dengan kelas akar rumput yang bisa jadi konflik semakin keras dan bisa cakar-cakaran kapan saja gegara hal sepele. Konflik yang umum terjadi malah sebenarnya bukan hanya antar agama, tapi kelompok di dalam agama itu sendiri dalam konteks mayoritas dan minoritas. Nggak percaya? Coba tanya para pemeluk Syi'ah, Ahmadiyah, Saksi Jehovah, Hare Khrisna dan lainnya. Belum lagi yang masuk kategori di luar agama seperti kepercayaan dan adat lokal. malah sering dianggap nggak ada. Yang nggak percaya? Mana dihitung.
Kelima, sebagai sebuah produk budaya maka agama selalu menjadi yang terbaik setidaknya bagi para pemeluknya. Mana ada yang kemudian menjatukan harkat barang bawaan masing-masing kan?Itu sudah given alias dari sononya. Apalagi sangat jarang orang beragama karena beneran milih sejak awal. Masih bisa dihitung dengan jari. Biasanya kalo nggak karena bawaan orok, atau pas nikah jadi harus satu agama, atau pas nanti mendadak mendapat pertobatan atau pencerahan. Maka nggak heran jika pertanyaan pamungkas adalah selalu "situ agamanya apa" terhadap berbagai ragam fenomena, termasuk nanti kalo siapa tau bumi dikunjungi oleh alien dari luar angkasa. Nah, kalo jawabannya tidak sesuai yang diharapkan, apa mau ganti dengan kunjungan balasan untuk menyebarluasken keyakinan? Siapa tau.
Itu semua membuktikan bahwa agama masih sangat relevan dari berbagai sisi. Bisa menghidupi banyak orang, bisa bikin jadi rukun, bisa punya status yang lebih baik, bisa menunjukkan bahwa semua orang sebenarnya baik, toleran, tenggang rasa, saling menghormati dan menghargai, tentu saja selama nurut dan nggak berisik banyak nuntut. Jadi siapa bilang agama nggak penting dan nggak dibutuhkan? Tiati kalo ngomong. Awas lu.