Salah satu yang biasa dilakukan manusia selagi masih hidup adalah aktualisasi diri. Tujuannya adalah untuk bisa menggali potensi pribadi, memberdayagunakannya supaya lebih bisa bermangpa'at bagi diri sendiri atau orang lain. Atau dalam konteks yang lebih ekstrim lagi di jaman kayak begini, adalah kapitalisasi atau monetisasi kemampuan, kapasitas, pikiran, keahlian, kebisaan, atribut, kepemilikan bahkan isi kolornya agar bisa mendapat keuntungan. Bicara soal untung, konon katanya orang paling males jika dikaitkan dengan semata uang atau material. Hidup kan nggak cuma buat cari duit, begitu bilangnya. Manusia kan nggak boleh matre, gitu ujarnya.
Akan tetapi, ada beberapa hal yang cukup menggelitik ketika kembali kepada konteks aktualisasi diri. Manusia adalah mahluk yang terus berubah. Perubahan bisa dilihat mulai dari fisik hingga orientasi berpikir. Sepanjang waktu akan terus menyerap pengetahuan dan informasi yang sangat beragam. Lingkungannya juga bisa berubah. Ada perpindahan kerja, komunitas, keluarga, bahkan juga negara. Dengan perubahan yang terus menerus, proses aktualisasi jelas dibutuhkan. Ini nggak berlaku lho ya buat mereka yang pada dasarnya tidak pernah berubah; seumur hidup cuma tinggal di situ-situ doang, kagak pernah kemana-mana bahkan temen ya itu-itu aja. Seolah memberhentikan waktu. Tapi rasanya tetap sulitlah. Sebab mobilitas manusia jaman begini bisa sedemikian intensif sehingga perubahan akan tetap terus terjadi.
Dengan terus berubah, maka aktualisasi diri adalah sangat dibutuhkan. Proses ini bisa datang dengan cepat, bisa juga terlambat. Tergantung dari orang yang bersangkutan. Bisa cepat karena ia sadar bahwa butuh penyesuaian akan situasi hingga ketrampilan seandainya masih mau digunakan. Bisa lambat karena kagak sadar-sadar bahwa perannya semakin mengecil hingga kemudian sewaktu-waktu dapat dilupakan. Dibuang sih sebenarnya. Maka kendala yang pertama berkaitan dengan aktualisasi diri adalah orang merasa masih punya banyak waktu. Padahal usia terus bertambah. Nggak punya apa-apa dan nggak bisa apa-apa. Dibikin santai boss, tapi tau-tau ketinggalan gerbong.
Kendala kedua adalah, secara paradoks dan kebalikannya orang merasa tinggal sedikit waktu. Apa saja disikat, apa saja diembat. Nggak peduli dengan kapasitas, kemampuan atau bahkan jangkauan. Semua dijabanin supaya terkesan ada kesibukan, ada peluang yang harus diambil dan ada kesempatan yang harus diraih. Seolah tiada hari esok. Aktualisasi diri jadi terpaksa, bukan sukarela. Aktualisasi diri karena beban kerja, bukan karena kehendak bebas.
The hardest thing in the world is to let go of who you once thought you were and to manifest your true self, at the risk of being unloved. This is self-actualization.
Refleksi dari bentuk paradoks semacam itu adalah di satu sisi, orang menjadi merasa tidak punya kesempatan yang cukup tapi sebaliknya ada juga yang berpikir waktunya tidak akan cukup. Segala bentuk kegiatan yang dilakukan juga tidak lagi punya ukuran, apakah passion atau purpose driven, apakah bernilai strategis atau sekedar taktis, apakah jangka panjang atau jangka pendek, apakah cukup sekali atau bisa berkali-kali. Akhirnya, ada juga yang kemudian melakukan simplikasi atau penyederhanaan motif; ada duitnya gak? Kalo ada ikuta, nggak ada tinggalkan. Atau bisa juga cuma sekedar nimbrung karena ada kepenting atribut lain, entah reward atau penghargaan, atau juga dapet nama.
Maka cepat atau lambat, orang akan berpaling kembali dengan malu-malu kucing bahwa hal yang paling realistis bisa didapat dengan aktualisasi diri ketika usia sudah tidak muda, tubuh mulai renta dan waktu terus berjalan adalah DUIT. Lha, kenapa nggak bilang dari awal? Namanya juga gengsi, keberatan pikir, ego segede bis karatan, atau juga merasa serba bisa. Tinggal perkara mau duit gede atau uang receh. Tapi berhubung aktualisasi diri tidak dipikirkan sejak awal, maka yang jelas tidak juga akan berpikir dikejar uang, menolak klien atau punya bisnis yang bisa menghidupi secara pantas. Sampai bangkotan, masih juga mikir kebutuhan dasar, mencari-cari kegiatan yang dianggap bisa permanen, tapi nggak berani juga melepas apa yang sudah dipegang untuk berkembang lebih jauh. Mana ada langkah besar jika masih saja jinjit? Mana ada lompatan besar jika sibuk ancang-ancang saja? Sementara waktu terus berjalan. Nah!