Kemiskinan itu sungguh menyedihkan, sekaligus menyebalkan. Sebab miskin bukan semata soal finansial. Kalo itu masih bisa dicari jalan keluarnya. Akan tetapi bagaimana jika miskin juga bukan semata soal duit, tetapi juga nilai? Di dalam relasi apapun terutama relasi kerja atau profesional, kemiskinan juga bisa datang menghampiri. Miskin di sini adalag bentuk defisit yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah sebab bisa jadi sudah mengakar sejak lama. Jika miskin adalah problem mental, maka selain tanpa sadar mengganggu yang bersangkutan, maka kemiskinan semacam itu juga menganggu orang lain.
Kesalahan fatal di sini adalah menganggap orang yang miskin secara mental adalah sama dengan miskin secara fisik; harus tetap dikasih asupan dengan harapan kelak bisa mandiri.
Miskin pertama adalah ketiadaan kerja keras. Ini bisa jadi karena orang mengeluh dan kemudian menjadi malas. Pengeluh umumnya banyak ada di sekitar kita. Merasa tidak pernah cukup, kurang biaya, pengen ini itu, tapi semuanya pake tapi dan cuman. Hal semacam itu tidak pernah terbersit untuk dicarikan solusi, melainkan hanya berhenti jadi keluhan secara repetitif dan konstan. Tujuannya biar orang di sekitar bisa mendengar. Iba gitu? Awalnya sih iya, tapi lama-lama dah biasa juga. Cuma buat menarik perhatian aja. Pengeluh juga bisa jadi pemalas. Motivasi hanya bersifat temporal. Tetiba apa yang diceritakan jadi alasan yang juga repetitif dan konstan. "Maap nggak bisa ikutan, ada acara dadakan", "Sorih ntar telat ada kesibukan laen", atau "Nanti didelegasiken aja ke si anu ya, sebab saya ada kerjaan" itu adalah beberapa pengulangan contoh kemalasan yang rutin disajikan. Jika awalnya ngeluh pengen lebih, malas justru ogah gerak karena merasa harus hemat energi ketimbang orang lain. Pengen dapet cepet, bagus, tapi usaha seminimal mungkin. Tidak profesional? pasti. Kata itu nggak pernah ada di dalam kamusnya.
Potensi keluhan dan kemalasan itu kemudian berkembang menjadi bentuk miskin kedua yakni miskin kreativitas. Tidak akan pernah terbersit di dalam pikiran untuk mencari alternatif-alternatif di dalam persoalan kerja selain yang dianggap sudah ada saja. Buat apa susah-susah jika sudah ada kebiasaan, pola, permakluman dan upaya yang memang dianggap sudah menguntungkan selama ini? Kreativitas dianggap nyusahin, ntar malah bikin ribet, capek, dan harus saling dorong berbagi peran. Toh ini semua kan sudah berjalan. Lebih minimal, lebih bagus. Kreativitas yang menjangkau semua level baik konseptual maupun faktual menjadi mengerikan. Siapa yang kelak bertanggung jawab? Sebab kemajuan sekecil apapun dianggap punya harga berbanding terbalik dengan kenyamanan yang harus dikorbankan.
Bicara soal kenyamanan, maka bentuk kemiskinan ketiga adalah ketiadaan kerjasama, terutama yang bersifat simbiosis atau timbal balik. Orang-orang yang miskin secara mental seperti ini akan terus meminta tanpa pernah memberi. Ujungnya memang jadi parasitisme. Pola kerja yang dibangun menjadi tidak seimbang. Ada yang harus siap dan rela jadi keset pintu, ada juga yang tinggal selonong datang pergi sesukanya. Kesalahan fatal di sini adalah menganggap orang yang miskin secara mental adalah sama dengan miskin secara fisik; harus tetap dikasih asupan dengan harapan kelak bisa mandiri. Padahal di dalam dunia kerja terlebih profesional, unsur semacam ini harus bisa diseleksi sejak awal karena kolaborasi atau kerjasama menandakan relasi yang setara. Relasi yang timpang atau berat sebelah akan menyedot habis energi orang lain untuk memuaskan ego tentang belas kasih atau iba.
Maka kemiskinan mental akan berwujud di dalam bentuk keempat yakni ketiadaan tujuan hidup. Mereka akhirnya bergantung di dalam mencari peluang dengan bersifat oportunistik secara maksimal, hanya mau terlibat jika sekedar menguntungkan, memperkuat norma-norma yang menyimpang dengan pembenaran sikap, menjadi defensif, anti kritik dan bahkan mengedepankan kenyamanan di atas kerja keras orang lain. Lebih konyol lagi, kemudian menuding orang lain menjadi tiran atau penindas oleh karena kenyamanannya terganggu. Terlebih jika kenyamanan itu tidak lebih dari problem seksual personal yang tak pernah bisa dicarikan solusi praktis. Bayangkan jika orang-orang semacam itu muncul dan berinteraksi secara narsisistik dalam ruang-ruang yang diharapkan bisa dilakukan secara profesional. Apa nggak ngeri?
Jadi, kemiskinan dalam perspektif mental itu akan jauh lebih punya dampak dibandingkan kemiskinan secara fisik atau material. Mental yang miskin tidak bisa disembuhkan dengan tindakan karitatif seperti berderma. Kepalamu bisa dimakan ntar. Jika belum terlalu sekarat, maka yang bisa dilakukan adalah mengikis kebiasaan-kebiasaan buruk agar tidak merembet kepada orang lain, kepada relasi sosial, atau kepada sistem yang dibangun. Jika itu terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa akan ada pembenaran dan kemiskinan semacam itu menjadi menular. Daripada dirongrong atau direcokin, mending sekalian begitu juga kan?
Emangnya situ mau kayak gitu? Jangan lah.