Dalam hiruk pikuk kehidupan modern yang selalu tergesa, mengejar banyak hal dan kerap mengabaikan yang lain, seringkali orang menjadi kekurangan terhadap satu hal penting dan berakibat kosong yakni empati. Kata empati sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yakni empatheia yang berarti 'ikut merasakan'. Dengan demikian, dengan demiki empati bermakna sebuah kondisi mental dimana seseorang merasakan pikiran, perasaan atau keadaan dari orang lain. Pikiran, perasaan atau keadaan tersebut belum tentu sama, serupa atau setara. Akan tetapi dengan berempati, maka sekurangnya seseorang dengan merasakan dapat mengetahui bagaima jika dirinya menja orang lain. Put yourself in someone else's shoes, katanya.
Apakah hal itu mudah untuk dilakukan? Ternyata tidak. Pertama, banyak orang yang keras terhadap dirinya sendiri. Bahkan terlalu keras hingga bisa patah. Ini terjadi lantaran mereka menganggap dirinyalah yang terbaik. Lebih baik dari orang lain. Konsekuensinya mereka enggan untuk mengakui kekurangan, kekeliruan bahkan kelemahan di hadapan orang lain. kekosongan yang ada harus diisi terus menerus agar diri merasa selalu spesial dan lebih unggul. Ini bukanlah sebuah bentuk rasa percaya diri yang genuine, tetapi lebih kepada arogansi yang dikendalikan oleh ego. Kecenderungan narsisistik bahkan megalomania seperti ini membuat ketiadaan empati. Mereka tidak peduli jika ada banyak perbedaan di luar diri mereka, sebab apa pun yang terjadi di luar sana ibarat planet lain mengelilingi diri yang bagai matahari. Apa yang ada hanyalah berkisar soal kepentingan di dalam situasi, keadaan atau orang yang bisa berganti. Empati adalah hal yang tidak diperlukan, sebab jika pun ada hal itu bisa dibuat-buat. Tidak orisinal sama sekali.
Kedua, ada juga orang yang oportunistik alias menggunakan empati hanya sebagai sebuah sarana. semisal berbuat baik atau melakukan tindakan supportif terhadap orang lain hanyalah karena ingin dilihat sebagai orang baik. Terlebih dengan media sosial saat ini, maka memberi atau melakukan perbuatan apapun harus bisa menjadi viral sehingga orang lain juga harus tau. Tindakan seperti itu jelas adalah upaya sepihak untuk membangun reputasi yang bisa jadi berlawanan dengan situasi aslinya. Apakah orang tersebut memang baik atau suportif? Bisa jadi hanya ketika dilihat atau diketahui oleh yang lain. Jadi selain tidak orisinal ya jelas nggak otentik juga.
Apa pun alasannya, dengan demikian empati adalah barang mahal. Terlebih jika tujuan-tujuan yang ingin dicapai juga bersifat superfisial alias hanya ada di permukaan saja. Dengan mementingkan diri sendiri atau tampil baik, orang mengejar hal yang lebih tinggi semisal pahala dan pencatatan tindakan yang berkaitan dengan kesalehan, moralitas atau bahkan Keilahian. Mengejar sorga seperti jadi prioritas ketimbang melirik orang lain bahkan alam atau lingkungan sekitar. Tidaklah mengherankan jika beragam isu seperti soal kemanusiaan hanya menjadi kosmetik. Nggak percaya? Coba tengok soal rasisme, perbedaan etnis atau agama, preferensi seksual dan segala hal yang dianggap kontroversial. Sudah pasti akan sangat sulit membangun empati tentang hal itu. Sebab ketika melihat perbedaan, orang akan cenderung untuk tengak tengok dulu apakah opini atau sikap yang akan dikeluarkan bisa merugikan dirinya atau tidak. Oportunis kan? Jika pun hal itu bertentangan dengan dirinya dan terpaksa harus mengambil sikap ikut arus, sudah jelas egois.
Akan tetapi sebaliknya harus diakui juga bahwa membangun empati di tengah masyarakat yang bebal juga sama sulitnya. Bagaimana bisa membangun empati terhadap kemiskinan jika mengemis adalah sebuah profesi? Bagaimana bisa membangun empati terhadap kekurangan makan jika apa yang didistribusi kemudian diambil seluruhnya tanpa ingat orang lain? Bagaimana bisa membangun empati terhadap lingkungan yang buruk jika buang sampah sembarangan adalah tradisi? Bagaimana bisa membangun empati dengan memberi jika orang terbiasa menadah tangan? Dengan kata lain, empati hanya bisa tumbuh secara sehat dan dibutuhkan jika berada di tengah sekelompok orang, komunitas atau masyarakat yang juga memiliki kehendak atau sikap terbiasa dengan empati juga. Tidak mungkin empati tumbuh di antara mereka yang egois, oportunistik, pura-pura atau bahkan tidak menyadarinya sama sekali. Ini jelas adalah dilema, sebab satu sisi empati membuat orang benar-benar menjadi manusia, tapi di sisi lain banyak juga orang yang tidak manusiawi.
"Empathy is connection; it's a ladder out of the shame hole" ~Brene Brown
Kembali ke kehidupan modern dimana konon semua orang bersaing dan berlomba untuk menjadi terbaik, lebih unggul dari yang lain, pamer kelebihan di tengah kekurangan, atau mencoba untuk kelihatan tangguh di antara yang lemah. Salahkah dengan hal semacam itu? Tentu tidak. Waktu akan terus berlalu dengan cepat berikut banyak perubahan yang terus terjadi. Semua orang memang dituntut untuk menjadi dan memberikan yang terbaik. Akan tetapi yang membedakan adalah apakah di antara sekian banyak orang itu, masih ada manusia yang benar-benar manusiawi. Empati menjadi prasyarat dasar yang mutlak dimiliki. Dengan minimal mengetahui dan ikut merasakan orang lain, maka keputusan atau tindakan yang akan diambil paling tidak memperhitungkan situasi yang lebih luas berikut dampak dan resikonya. Kalo tidak, ya mencoba selamat sendirian. Susah? Banget.