Orang sering bilang, keputusan yang keliru adalah hasil dari observasi yang tidak lengkap, salah analisis dan kemudian berpengaruh kepada kesimpulan yang juga melenceng. Keputusan keliru yang berulang-ulang kemudian menghasilkan pola tersendiri, selalu mandeg, tidak ada perubahan dan ujungnya menyebabkan hidup yang juga sulit. Pendapat seperti itu ada benarnya jika sebuah keputusan dan pengaruhnya kepada hidup hanya semata dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti pengalaman pribadi, pembelajaran diri atau apapun yang diakses dan dinilai oleh diri sendiri. Akan tetapi sebuah keputusan seringkali juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Entah karena orang lain, pendidikan, lingkungan, habitat atau bahkan ekosistem di mana seseorang tinggal dan hidup. Artinya, pengaruh luar juga bisa saja menjadi dominan, selain tergantung karakter si pengambil keputusan.
Itulah sebabnya tidak ada yang salah dalam pengambilan keputusan seperti apapun asalkan proses yang dijalani sudah maksimal. Pertama, ada syarat bahwa pengambilan keputusan harus punya data yang lengkap. Akan tetapi, seberapa bisa lengkap jika seseorang mencoba untuk melengkapinya dengan data? Too much information will kill you, also. Itu benar adanya. Data atau informasi yang terlalu banyak akan membuat pengambilan keputusan menjadi berhati-hati, lamban dan cenderung konservatif. Takut meleset soalnya, jadi harus bisa dipastikan benar-benar. Sebaliknya, terlalu sedikit informasi atau bahkan tidak ada akan membuat pengambilan keputusan menjadi spekulatif. Kalo nggak coba-coba ya nekat.
Kedua, dengan data yang entah seadanya atau bisa dicari lagi, maka pengambilan keputusan juga harus siap dengan mengkalkulasi risiko. Seberapa besar risiko yang bisa ditanggung? Bagaimana jika risiko terlalu kecil atau terlalu besar? Jika terlalu kecil atau tidak ada sama sekali, apakah keputusan yang dibuat itu punya dampak? Maka menghitung risiko secara cepat dan lugas baik yang terlihat mau pun tidak sudah apsti harus bisa dibaca. Sebab risiko yang tidak bisa diprediksi adalah hal yang menyakitkan, sama seperti keberhasilan yang tertunda.
Ketiga, jika sudah ada dan risiko dalam bayangan maka yang terpenting juga adalah seandainya keputusan yang diambil tidak membuahkan hasil sama sekali atau jadi blunder. Maka perlu untuk membuat laternatif singkat cepat dan padat sebagai exit plan. Jumlah rencana semacam itu tidak memiliki batasan tertentu selama masih rasional, layak dan bisa dikerjakan dengan cepat. Keputusan tanpa pintu keluar jika seandainya terjadi sesuatu adalah tindakan yang naif karena bisa berakibat fatal seperti gagap dengan situasi dan bingung nggak tau harus gimana lagi. Akibatnya orang bisa panik dan menyesal.
Akan tetapi jumlah orang yang bisa berhitung fase satu dua dan tiga di atas itu sangat sedikit. Hanya beberapa gelintir orang yang mampu melihat sebuah keputusan dan dampaknya secara luas. Bisa jadi risiko yang ditanggung lebih besar, tapi keuntungan yang didapat lebih luas. Bisa jadi banyak hal yang harus dikorbankan tapi hasil akhirnya memuaskan. Bisa jadi informasi yang dimiliki sangat sedikit, tapi berhubung keterbatasan waktu maka keputusan harus segera diambil. Dilema semacam itu adalah hal yang wajar, karena dunia umumnya berisi orang-orang yang entah nelat buta nabrak tembok gegara miskin perhitungan, atau mereka yang terlalu takut untuk mengambil keputusan karena sudah membayangkan ketidakmampuan menghadapi risiko yang bakal muncul kemudian.
Nah situ masuk yang mana?
-------------------------------
Tulisan ini adalah akhir dari rangkaian serial blog ini di penghujung tahun 2022. Rencananya, tahun depan akan mulai tetapi tidak setiap hari. Mengapa? Hal itu sudah ditepati dengan 373 artikel sejak akhir tahun 2021 lalu terisi. Ada baiknya untuk sedikit berubah fokus agar tidak terjebak kepada rutinitas. Terimakasih.