Di abad ke-21 yang sudah berjalan dua dekade ini, kehidupan sehari-hari sudah ditandai dengan perkembangan dan penggunaan teknologi digital secara besar-besaran. Misalnya, teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam beragam aplikasi, tertanam di gadget bahkan home appliances mulai dari penanak nasi hingga mesin cuci. Selain itu berkembang pula penggunaan AI di dalam otomotif hingga rumah. Penerapan CCTV, alarm, kunci pintu sebagai Internet of Things (IoT) sudah lazim dijumpai.
Fenomena semacam itu merupakan pertanda bahwa manusia sudah memasuki era baru bernama post-digitalism atau pascadigitalisme. Era ini mengacu kepada konsep berupa fase budaya yang muncul setelah pergolakan awal yang disebabkan oleh teknologi digital dan internet sebagai wujudnya. Meski demikian, pascadigitalisme bukan berarti pergerakan yang melampaui teknologi digital. Pascadigitalisme menunjukkan bahwa teknologi digital telah menjadi begitu terintegrasi ke dalam kehidupan kita, sehingga tidak lagi menjadi entitas yang terpisah dan luar biasa.
Hal ini sudah diramalkan jauh-jauh hari oleh Nicholas Negroponte dalam bukunya yang berjudul "Being Digital" (1996). Sebagai pendiri MIT Media Lab, Negroponte menulis secara optimis bahwa integrasi dan peran teknologi digital akan masuk ke dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Gagasan Negroponte itu memiliki kontribusi pada kerangka kerja konseptual tentang pascadigitalisme yang kemudian memberi inspirasi untuk mengeksplorasi bagaimana teknologi digital membentuk kembali pengalaman manusia, produksi budaya dan struktur masyarakat. Ini menandai bahwa di kemudian hari hidup manusia tidak akan terlepas dari realitas digital sehingga akan semakin sulit membedakannya secara fisik.
Misalnya dalam seni, arsitektur, musik, dan bidang budaya lainnya, pascadigital ditandai dengan pendekatan yang memadukan metode tradisional dengan proses digital. Pendekatan ini mengakui dampak teknologi digital sekaligus secara kritis memeriksa implikasinya terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan. Hal ini dapat terwujud dalam berbagai cara, seperti seniman yang menggunakan alat digital untuk membuat karya fisik atau sebaliknya, atau dalam eksplorasi tema-tema yang berkaitan dengan keberadaan teknologi digital dan pengaruhnya terhadap pengalaman dan persepsi manusia.
"Computing is not about computers any more. It is about living." ~ Nicholas Negroponte
Akan tetapi proses semacam itu tidaklah selalu berjalan dengan mulus. Gelombang kejut digital terhadap budaya, khususnya cara berpikir hingga penggunaan teknologi memiliki dampak tersendiri. Pertama, ada begitu banyak data yang dihasilkan dan menyerupai fakta sehingga orang sulit membedakan mana yang asli dan mana yang replika. Kedua, kaburnya perbedaan antara data dan fakta membuat orang menjadi bingung. Sikap bingung membuat mereka menjadi reaktif dan defensif terhadap perkembangan teknologi digital. Misalnya banyak artis atau seniman yang menolak penggunaan AI dengan tudingan kepalsuan, sesat dan nihil nilai artistik. Hal ini terjadi umumnya pada generasi tua yang terbiasa memiliki saringan yang sudah ditetapkan dan dibiasakan secara politik. Dengan kata lain, mereka terbiasa dicekoki dengan sensor secara eksternal sehingga tidak mampu mengembangkan kemampuan dasar untuk membedakan pilihan-pilihan yang begitu beragam. Hoaks atau bukan, ditelan mentah-mentah. Ketika era pascadigitalisme mengenyahkan saringan tersebut, maka mereka tidak mampu membedakan secara natural, manakah data dan fakta yang sesungguhnya. Sikap relatif kemudian membangun self defense mechanism tersendiri terhadap perubahan yang terus terjadi, umumnya dengan penolakan atau pengabaian. Apalagi jika lambat laun realitas digital makin serupa dengan realitas alamiah. Pening nggak jadinya.
Refleksi dari fenomena semacam itu memberi sebuah kesadaran bahwa dengan berkembangnya era pascadigitalisme, maka manusia dituntut untuk harus mampu mengelola kebebasannya sendiri secara dewasa dan bertanggungjawab. Ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat derap pacu teknologi digital baik informasi sebagai substansi dan internet sebagai forma, sudah jauh melangkah lebih cepat ketimbang alam pikir manusia dalam konteks nilai, prinsip, moralitas dan budayanya. Kebebasan yang bernada individualisme tersebut juga dianggap menjadi duri tajam bagi norma sosial kemasyarakatan yang belum tentu bisa sejalan. Misalnya, bagaimana mengatur standar obyektif estetika dan kepantasan dalam sebuah karya yang dihasilkan melalui AI? Atau lebih tajam lagi, apakah memang ada obyektivitas dan apa iya harus ada standar?
Suka atau tidak, AI dengan proses generate, regenerate dan anti-generate menghasilkan pilihan-pilihan atas dasar kehendak subyek baik artis, seniman, atau pengguna biasa. Hal itu memberi implikasi luar biasa bukan pada soal teknis saja, tetapi juga nilai, prinsip, moralitas yang terus menerus dipertanyakan dan digugat baik reaksi, relevansi, dan kegunaan. Nah, jika sudah bicara kegunaan, maka mau tidak mau orang jatuh kepada bentuk utilitarian terhadap teknologi digital. Debatnya bisa panjang kan?
Dah, tinggal ngopi dulu.