Pada saat ini, konon katanya lagi rame perbincangan soal Anthropocene, atau antroposen. Istilah ini merupakan deskripsi soal bagaimana aktivitas manusia mulai berpengaruh secara global terhadap ekosistem bumi dilihat dari pembagian secara ruang geologis. Sebab dulu ada yang namanya Kala atau Era Pleistocene atau Pleistosen ketika suhu bumi mulai menghangat dan mammoth berkeliaran. Ada juga Kala Holosen dimana manusia atau homo sapiens mulai bermunculan. Nah, sederhananya, Kala atau Era Antroposen yang mulai digaungkan sejak 1960an itu adalah melihat bagaimana manusia mulai berpengaruh terhadap perubahan iklim dan cuaca, atmosfer hingga lapisan udara Bumi. Maka sejak hampir satu dekade lalu istilah Antroposen sudah mulai digunakan sebagai tata nama geologi.
Tentu saja perdebatannya bukan soal istilah. Kondisi obyektifnya memang jelas; bumi makin padat, makin berpolusi, frekwensi gelombang radio dan penggunaan kanal digital makin rame, sampah plastik makin menumpuk, perang tak kunjung usai dengan ancaman nuklir, problem radio aktif, efek rumah kaca, pencemaran laut dan udara, serta situasi yang semakin pengap itu mempengaruhi bumi tidak saja secara geologis tapi juga aspek lainnya. Perdebatan awal soal Antroposen itu adalah kapan sih kiranya era itu dimulai? Apakah pada saat revolusi Neolitikum sekitar 12 ribu tahun sebelum Masehi dan manusia mulai membangun peradaban awal melalui pertanian? Ataukah ketika Revolusi Industri di abad ke-19 ketika manusia menciptakan mesin pertama? Ataukah ketika tahun 1945 saat manusia mulai menciptakan dan menggunakan bom atom? Apakah ketika dunia masuk ke dalam fase penggunaan teknoklogi digital dan nirkabel? Semua itu masih menimbulkan perdebatan. Lagi-lagi urusan konseptual.
Meski kondisi obyektifnya jelas, ada pertanda yang tidak bisa diabaikan yakni dengan kehadiran manusia maka mulai ada kepunahan spesies lain. Mulai dari efek penggunaan dan pengembangan lahan yang berpengaruh terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati, hingga konflik sosial politik yang juga berdampak terhadap eksistensi manusia itu sendiri. Jangankan soal lingkungan, antar manusia pun bisa saling memusnahkan dengan argumen dan alasan yang tidak rasional mulai dari warna kulit, agama, kelas sosial dan sebagainya. Sejarah mencatat, dari 3.400 tahun terakhir dalam peradaban manusia hanya ada 268 tahun waktu damai atau hanya sekitar 8% saja. Di abad ke-20 ketika perang besar berkobar dua kali, sebanyak 108 juta orang terbunuh baik kombatan maupun warga sipil. Eh, padahal itu baru abad lalu lho. Meski secara nyata ancaman bom atom hanya terjadi satu kali, tapi hingga kini penggunaan senjata pemusnah massal tetap jadi isu sensitif dan berbahaya bagi peradaban.
Jadi, Era Anthroposen itu menitikberatkan manusia sebagai subyek dan pelaku utama yang berpengaruh terhadap habitat, ekosistem hingga tata ruang geologis bumi itu sendiri. Di satu sisi, ada kebanggaan bahwa peran itu memberi banyak kontribusi berupa kemudahan hidup meski ada banyak konflik, benturan dan kemunduran gegara perang serta pandemi. Di sisi lain, konsekuensi dari posisi subyek dan pelaku utama itu menempatkan manusia sebagai sentral yang juga berdampak buruk terhadap keseimbangan alam. Kritik ini juga bertambah dengan soal posisi vertikal manusia entah sekuler teknologi atau religius ketuhanan juga kerap mengabaikan ruang hidup entitas lain di luar manusia. Penghisapan sumber daya alam, eksploitasi lingkungan dan kerusakan ekosistem kemudian mulai menimbulkan isu kelangkaan, kepunahan hingga pencarian alternatif sumber daya baru yang terbaharui dan tergantikan.
Sungguh ironis memang, sebab dalam waktu singkat bumi mengalami kerusakan cukup parah dengan populasi yang semakin tidak berimbang, konstruksi yang semakin memberi beban serta ruang hidup yang semakin sempit. Baru di Era ini isu soal kelangkaan bahan bakar, air, sanitasi dan problem sosial manusia menjadi semakin intensif untuk dicari soolusinya. Terlebih paradigma manusia sebagai subyek dan pelaku utama itu membuat alam hanya menjadi obyek belaka. Lantas apa yang luar biasa? Nggak ada. Pertama, meski ada upaya-upaya berbasis teknologi untuk mencari solusi, selalu tetap saja positioning manusia selalu menjadi paradoks. Antara gadget dan dewa kini nggak ada bedanya. Kalo dah mentok, selalu mencari Tuhan. Banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dan harus terima nasib. Mulai dari wabah, bencana alam, longsor, penurunan permukaan tanah, krisis sumber alam membuat orang cuma bisa menengadah tangan ke atas. Istilahnya, mau kayak gimana seringkali berujung pasrah. Alam nggak bisa ditaklukan seratus persen ternyata.
Kedua, dengan menjadi subyek dan pelaku utama yang tidak sepenuhnya berdaya itu maka tidaklah mengherankan jika cepat atau lambat justru manusia sendiri yang menuju kepunahan. Entah karena penyakit, perang atau bencana apapun, maka bumi siap mendaur apapun ketika sudah jenuh. Bayangkan jika ternyata dengan sangkaan superioritas yang ada ternyata manusia bukanlah apa-apa. Bagaimana jika sebenarnya bukan manusia yang berkuasa? Meski bisa sekehendak hati mengubah apapun, tapi bagaimana jika sebaliknya manusia ada hanya untuk memberi karbon dioksida kepada tumbuhan dan menjadi pupuk tanaman ketika mati? Jadi kepunahan mahluk apapun cepat atau lambat, dengan cara apapun termasuk manusia adalah untuk memberi makan bumi. Harap diingat, eksistensi manusia yang baru belasan ribu tahun itu cuma seuprit dibandingkan bumi yang sudah jutaan tahun.
“If control is the problem, then, by the logic of the Anthropocene, still more control must be the solution.” ~ Elizabeth Kolbert, Under a White Sky: The Nature of the Future
Itulah sebabnya membalik paradigma manusia sebagai subyek dan pelaku utama yang berotoritas penuh adalah penting mengingat ternyata memang nggak ada apa-apanya. Kerusakan tinggal kerusakan, meski ujung-ujungnya adalah tetap saja membayangkan post apocaliyptic situation. Mau pake penentuan segala macem kek, debat kek, atau gontok-gontokan sambil tekan tombol Weapon of Mass Destruction kek, ada zombies kek, biarin. Sebab disadari atau tidak, manusia mempercepat kepunahannya sendiri setelah menelan begitu banyak korban dalam atas nama peradaban dan kemajuan. Ngebayangin binatang dan sumber alam menjadi langka, tapi diri sendiri mampus ditelan pandemi. Mumet? Yaudahlah, ditinggal ngopi aja kalo gitu.