Istilah flexing sebenarnya bukan barang baru. Ia muncul dalam bahasa gaul di Amerika Serikat sejak tahun 1990an. Ada yang mengatakan asal katanya adalah flex yang berarti lentur, namun kemudian berkembang secara konotatif dengan berarti pamer. Jadi flexing adalah memamerkan sesuatu dengan sengaja dan berlebihan terutama melalui media sosia. Apa yang dipamerkan umumnya adalah benda atau barang mahal. Dengan memamerkan, maka orang yang melihat akan berpikir bahwa orang yang pamer tersebut adalah (a) pemilik barang, (b) memamerkan sebagai simbol kesuksesan sehingga (c) yang bersangkutan adalah orang sukses.
Tujuan dari flexing sebenarnya adalah trik marketing. Dengan memberi kesan bahwa orang tersebut adalah sukses, maka bisnis yang dijalankan terutama dengan mengajak keterlibatan banyak orang adalah dorongan untuk meraih kesuksesan yang serupa. jadi tidak mengherankan jika fenomena tersebut akan menjadi buah yang menggiurkan. Pamer mobil mahal, rumah mewah, atribut seperti busana atau tas dari disainer terkenal, barang-barang luxury brands dan sejenisnya. Apalagi jika bisnis yang dijalankan mengandung unsur investasi mulai dari yang legal hingga ilegal. Pake bumbu agama pula bisa lebih kenceng baunya. Siapa yang tergiur? Mereka yang ingin balik modal cepat akan tergoda untuk menanam uangnya dalam bisnis yang memang memutar uang dengan iming-iming keuntungan berlipat. Mulai dari arisan berantai, duit kripto, judi onlen hingga robot trading.
Flexing sendiri adalah hal yang wajar terlebih dalam konteks marketing di media sosial. Hanya saja, butuh pengetahuan lebih untuk membedakan mana kekayaan yang orisinal, mana yang pura-pura. Orang yang memamerkan kekayaan dengan tujuan emang buat pamer doang, ya bisa saja memang benar-benar kaya. Apalagi tampilan orang kaya beneran itu biasa-biasa saja. Sebuah survei yang mempergunakan standar kekayaan berupa uang mengendap di bank milyaran Rupiah, memperlihatkan bahwa orang kaya selalu bersikap wajar dengan kekayaannya. Mereka jarang bahkan nyaris tidak pernah pakai kartu kredit. Belanja apapun dengan uang kontan. Bisa beli banyak tapi tahu mana yang dibutuhkan hingga secukupnya. Dompetnya pun penuh lipatan uang, bukan tumpukan kartu. Makan, belanja atau spending apapun bisa dimana saja tanpa pilih-pilih harus ngadem di mall atau tempat mewah. Ngemper pun jadi, bukan karena nggak ada duit tapi memang baginya biasa saja.
Maka sudah bener pepatah, orang kaya beneran itu berbisik dan pura-pura kaya itu berisik.
Lain halnya dengan orang yang berlagak kaya. Pamer karena ujungnya bukan sekedar pamer, tapi memang bisnis. Ia ingin agar orang tertarik untuk menginvestasi sehingga bisnisnya berputar dan dapat keuntungan, entah afiliasi atau komisi. Maka tidak mengherankan jika pamer itu bukan sekedar barang tetapi juga perilaku. Belanja barang branded, makan makanan mahal, semua diperlihatkan. Mana mau kelihatan lusuh, apa-apa harus kelihatan mewah meski sebenarnya sewa atau pinjam. Ngemper pun ogah karena bakal terlihat kayak orang susah. Pencapaian material itu kemudian dibuat identik dengan ukuran keberhasilan atau kesuksesan. Terkecoh? sudah pasti banyak yang begitu. Sebab sukses nggak bisa didapat dengan semalam. Kalo dipikir, mana ada untung berlipat hanya dengan modal sebentar tanam kemudian langsung ingin menikmati buah. Maka sudah bener pepatah, orang kaya beneran itu berbisik dan pura-pura kaya itu berisik.
Jadi berhati-hatilah. Pengetahuan untuk membedakan mana orang kaya beneran dan mana pura-pura jadi penting untuk sejauh mana melihat efektivitas flexing yang ada di depan mata. Tergiur sih boleh-boleh saja, tapi meniru habis tanpa pernah tahu dasarnya bakal bahaya. Sebab flexing memang bising. Ia ada karena kepentingan bisnis dan hidup karena banyak yang tergiur dengan ukuran semu yang ditampilkan. Nah, pengen beneran kaya? Kerja dan jangan brisik.