Orang Endonesah itu demen dan butuh pengakuan sosial. Minimal biar merasa lebih dihargai daripada yang lain. Ini dibuktikan dengan bagaimana orang mengejar gelar agar bisa dipajang di depan atau di belakang nama. Jika dulu kebanggaan sosial adalah gelar feodal macem kebangsawanan dan sampai sekarang banyak pula yang masih ngejar itu, maka kecenderungan di jaman sekarang adalah gelar akademik agar merasa bisa lebih bukan saja secara sosial tapi juga kognitif. Semacam pembuktian terhadap kecerdasanlah kira-kira. Mengapa? Sebba itu menunjukkan bahwa situ lebih pintar, lebih mampu berpikir, bahkan melewati fase sulit semacam sidang skripsi, tesis hingga disertasi.
Akan tetapi sebelum jauh sampai ke sana sekalipun, pengakuan tetaplah harus didapat. Maka misalnya bertebarlah penggunaan seperti Dr (c), Dr Cand, dan singkatan lain untuk kandidat doktor yang sebenarnya tidak ada dalam istilah resmi yang berlaku. Kandidat doktor ya masih mahasiswa doktoral, belum doktor. Lantas gelar abal-abal itu dibikin buat menyenangkan hati, atau jangan-jangan mau selamanya jadi kandidat? Hati-hati lho dengan keinginan. demikian pula dengan A.Md, atau ahli madya untuk program diploma D3. Dibawah sarjana juga tidak ada gelar, maka lucu jika dipaksakan untuk ahli madya yang bersertifikasi profesi juga harus dapet gelar. Apalagi sejauh ini nggak ada gunanya selain dipajang di undangan nikah.
Skripsi, tesis dan disertasi bukanlah karya tulis puncak pencapaian, melainkan pintu pembuka untuk bisa berpikir, meneliti dan menulis selanjutnya baik di dalam dunia akademik, profesional atau lainnya.
Perkara pengakuan sosial itu juga nggak cuma di level diploma hingga doktoral. Olok-olok semacam panggilan profesor sempat pula terjadi di negeri ini. Alasannya sih karena teman dekat, tapi gelar profesor juga nggak gampang apalagi di jaman sekarang. Ada ketentuan untuk bisa mendapatkannya dengan sederet prosedur dan birokrasi. Jadi kalo udah doktor kek tapi masih modal jabatan fungsional asisten ahli tanpa pernah diurus ya ribet sendiri. Ngaku-ngaku juga bakalan jadi memalukan. Lektor aja belum, lektor kepala apalagi. Tetiba jadi profesor tuh piye?
Hebohnya soal pengakuan sosial ini juga bukan terjadi di dalam publik sebagai bentuk aspirasi yang kebablasan, tetapi juga secara sistemik memang juga banyak yang dipermudah. Semisal D4 atau program diploma empat tahun di berbagai lembaga pendidikan kedinasan tetiba juga jadi S1 atau sarjana. Pake gelar kan nikmat apalagi kalo kelak bisa serenceng macem kopi instan. Jadinya orang berpikir bahwa gelar adalah satu atribut sosial yang menunjukkan perbedaan dengan orang lain. Dianggap lebih cerdas, pintar, terspesialisasi. Padahal isinya kalaupun bermutu ya belum tentu bisa aplikatif secara keseluruhan.
Benarkah sepenting itu? Satu hal yang selalu dilupakan adalah gelar akademik adalah beban sosial untuk bisa melanjutkan aktivitas pemikiran selepas pendidikan. Banyak orang yang beranggapan ketika sudah lulus, maka selesai sudah. Salah besar. Padahal itu baru saja dimulai. Skripsi, tesis dan disertasi bukanlah karya tulis puncak pencapaian, melainkan pintu pembuka untuk bisa berpikir, meneliti dan menulis selanjutnya baik di dalam dunia akademik, profesional atau lainnya. Nggak suka nulis? nggak sempat meneliti? nggak bisa mikir? Lha ngapain jadi sarjana kalo gitu. Cari gelar buat kerja? langsung aja yang bersertifikasi profesional. Malu nggak punya gelar? Nah, ujungnya memang cuma pengakuan sosial.
Jadi nggak heran dengan melimpahnya banyak sarjana mulai dari S1 hingga S3, kemampuan dan kualitas orang per orang bisa dihitung dengan jari. Tidak suka menulis, apalagi membaca. Meneliti nggak sempat, mikir apalagi. jadi pendidikan jatuhnya adalah ngabisin duit buat cari duit. Mencetak banyak-banyak tapi jadi berkualitas rendah hingga afkir. Kapasitas analitis kurang, mendongengnya jago. Maka jangan heran jika pendidikan hanya jadi tambal sulam. Formal saja begitu, apalagi yang non formal bahkan informal. Bisa-bisa cuma jadi pegiat atau pengamat doang. Hasilnya? Nol.