Merekrut orang bukan perkara mudah. Seringkali butuh proses yang panjang mulai dari memeriksa, memilah dan menilai. Sedikit atau banyak kandidat juga mempengaruhi ketersediaan dalam posisi. Belum lagi jika sudah sejauh itu tidak menemukan orang yang cocok. Kalo pun ada, proses juga tidak berhenti begitu saja. Ada pelimpahan tugas dan wewenang yang harus dilakukan. Belum lagi jika yang direkrut masuk ke dalam sebuah tim kerja. Gerak menjadi melambat sebentar untuk memberi ruang dan waktu kepada orang baru untuk penyesuaian cara, ritme, kebiasaan, hingga hal-hal yang bersifat teknis. Hal yang sama juga berpengaruh pada level yang lebih strategis. Ada keputusan dan kebijakan yang harus dipelajari sebelum bisa benar-benar mulai berlari mengejar ketinggalan.
Akan tetapi tetap saja tantangan yang ada tidak berhenti sampai di situ. Pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana cara orang yang direkrut entah baru atau lama bisa betah bekerja? Sebab sekali lagi, di satu sisi mencari pengganti tidaklah mudah. Apalagi yang benar-benar pas sesuai kriteria dan cocok pula dengan keinginan, kualitas dan kapabilitas yang bersangkutan. Di sisi lain, tenaga kerja memang melimpah. Jika rekrutmen dan proses sesudahnya dianggap tidak sepadan, maka potensi untuk keluar masuk juga menjadi tinggi. Hal tersebut akan menganggu proses kerja yang dilakukan terutama saat ada project strategis dan kolektif.
Dari beberapa riset yang dilakukan dalam konteks human capital di ragam perusahaan yang berbeda, sekurangnya ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa orang menjadi betah. Pertama adalah adalah bagaimana lingkungan atau habitat kerja itu mendukung yang bersangkutan. Ini bukan perkara toxic atau tidak toxic, melainkan gaya kepemimpinan hingga kerja tim yang solid. Sebab ada dua spektrum yang cukup kontras dan berbeda. Pertama, ada gaya dan cara kerja berbasis dinamika ketegangan yang dibangun dengan cukup keras. Semisal kejar target, ditegur, dikritik, penuh tekanan dan akhirnya semua itu membuat tim menjadi dinamis dan bergerak cepat meski ada resiko kelelahan secara fisik maupun mental. Kedua, ada gaya dan cara kerja berbasis kekeluargaan yang saling peduli, toleransi, cenderung santai namun ada resiko tidak terlalu produktif atau lamban mencapai target karena penuh kompromi. Kedua gaya dan cara kerja tersebut akan membentuk budaya sebuah habitat kerja yang berbeda pula, sebagai nilai dari ekosistem besar di perusahaan. Orang yang kemudian masuk mau tidak mau akan menyesuaikan diri, entah terbiasa atau tidak tahan.
Faktor kedua adalah, adanya ruang ekspresi, kreasi dan inovasi yang bisa didapat dan dilakukan setiap orang. Jika ruang itu tertutup, maka orang tidak akan tahan dan merasa tidak menemukan apa yang ia cari. Tekanan yang begitu besar boleh saja datang, asal ada kesempatan dan kemudahan untuk bisa mengelolanya dengan baik. Entah dengan memaksimalisasi semua hal di hari kerja dan benar-benar off saat akhir pekan, entah dengan kompensasi dan benefit yang memadai, entah dengan kemudahan untuk mendapat fasilitas, apapun ruang itu haruslah bersifat terbuka. Sebab tekanan yang tidak dapat dikelola akan menghancurkan semangat atau memberi demotivasi sehingga niat untuk benar-benar bisa stay akan luruh seketika. Itulah sebabnya perusahaan harus berpikir panjang tidak hanya sekedar financial cost saja dalam mengelola karyawan, tetapi juga psychological bahkan social cost yang ditanggung akan membuat mereka yang bekerja menjadi betah dan bersemangat.
Faktor ketiga adalah adanya kejelasan dalam soal karir, penugasan, perintah, tanggung jawab, wewenang, hingga hal lain yang bersifat teknis dan material. Menjadi penting bahwa faktor ini adalah yang terakhir untuk masuk ke dalam prioritas ketimbang dua faktor sebelumnya. Mengapa? Sebab banyak orang yang suka terbalik. Mengejar kerja hanya dari tawaran tentang besaran gaji dan peluang karir, tapi baru mikir kemudian bahwa dirinya nggak betah karena tekanan terlalu tinggi, politik kantor, hingga ketiadaan ruang secara psikis. Ujungnya ya mendadak resign, perusahaan harus cari lagi. Emang sih, buat tau faktor pertama dan kedua ya nggak gampang. Bagusnya memang ngalamin langsung. Tapi bisa kan nanya-nanya dulu atau cari tau sebelum melamar? Tapi kalo gegara kepepet dan pertimbangannya cuma soal duit doang, ya jelas kayak beli kucing dalam karung. Perusahaan bisa cari tau dari CV/Portofolio, tapi situ masak nggak mau juga cari tau?
“If you think it’s expensive to hire a professional, wait until you hire an amateur.” ~Red Adair
Dampak dari pengelolaan yang baik, tentu saja akan mempertahankan karyawan dengan baik pula. Tidak sedikit perusahaan yang tersaruk-saruk lantaran hanya mengejar profit tapi tidak memperhitungkan benefit dengan pengelolaan human capital secara layak. Ada juga perusahaan yang sukses dan umumnya berfokus dalam servicing atau pelayanan kepada konsumen. Umumnya mereka paham bahwa ada visi, misi, values dan purpose yang dipahami dan dimaknai bersama mulai dari jajaran lapis atas hingga bawah. Ada kepedulian yang dibangun di tengah padatnya deadline, target dan juga goals yang harus dicapai. Ada kebanggaan untuk bisa menjadi bagian dalam sebuah habitat kerja perusahaan yang sangat berarti dalam detil sekecil-kecilnya. Nah, situ masuk nggak?