Hidup itu sendiri adalah peperangan. Setiap hari. Berjalan sedemikian keras dari waktu ke waktu. Mulai dari urusan lidah , urusan perut hingga di bawah perut. Semua orang bertarung satu sama lain meski kadang dipaksa pula harus bernegosiasi hingga berkolaborasi. Sebab tidak selamanya juga harus berkompetisi. Tentunya akan melelahkan dan menghabiskan tenaga yang tidak perlu. Belum lagi soal modal lain seperti pikiran, perasaan, duit bahkan juga waktu.
Meski berperang, tidak semuanya adalah medan pertempuran. pada dasarnya manusia bisa memilih di mana ia akan melakukan pertarungan dan di mana bisa bersantai. Di mana ia harus bisa mengalahkan dan di mana ia tahu bahwa ada tempat lain yang membuatnya berkuasa. Akan tetapi tidak semua orang punya kepekaan akan hal tersebut. Ada yang selalu maunya mengalah, tidak ingin berkonflik. Model begini bakal digilas habis oleh lawan yang sudah biasa bertarung. Ada juga yang tanpa pandang bulu melawan siapapun dan kapanpun. Ini pun nasibnya juga sama. Sudah pasti kelelahan dan bakal terbirit-birit minta ampun bila ketemu lawan yang lebih kuat.
Lantas apakah semua harus dengan kompetisi dan kekerasan? Pastinya tidak. Jika negosiasi harus dilakukan, maka ingatlah bahwa hal tersebut adalah bersifat taktis dan sementara. Tidak ada teman yang benar-benar teman dalam segala hal. Membiasakan diri untuk bertemu, tawar menawar, saling membantu mencapai tujuan masing-masing. Tujuan bersama adalah ketika masih sejalan. Demikian pula dengan kolaborasi sebagai pilihan yang terbaik ketimbang saling bunuh-bunuhan. Apalagi di era semacam begini ketika peluang semakin tipis dibayangi pandemi. Apakah masih mau berkeras kepala, adu gengsi, merasa terbaik tapi sebenarnya nggak ada isi?
Jadi buanglah jauh-jauh pikiran bahwa kebahagiaan itu ibarat menulis di kertas putih bersih tanpa noda. Kebahagiaan justru adalah ketika masih bisa menulis walau terkoyak peperangan. bangkit dan bangkit kembali untuk berjalan. Semua masih bisa berjalan dengan manusiawi, artinya tetap mengedepankan kebersamaan. Sebab jika ego karatan itu muncul dan merasa serba bisa, ujungnya bakal terlewati oleh waktu. Merana sendirian. Masa iya segitu-gitu doang? Padahal ngakunya paling cepat bisa mendatangkan perubahan. Kasian.