Hidup itu harus bergaya. Setiap orang punya ciri masing-masing. Gaya hidup juga sangat beragam. Ada yang bilang sehat atau nggak sehat, ada yang sederhana atau glamor, semua pilihan masing-masing. Tentunya ada konsekuensi dari setiap pilihan. Gaya hidup sehat, nggak bisa makan enak. Gaya hidup nggak sehat, dihantui penyakit. Gaya hidup sederhana, nggak bisa mencecap kemewahan. Gaya hidup glamor, rentan dibangun atas hutang.
Gaya hidup atau life style berbeda dengan cara hidup atau way of life. Cara hidup ditentukan berdasarkan norma, kebiasaan, ritual atau tradisi yang bergantung di masyarakat. Gaya hidup, meski bersifat personal justru dipengaruhi oleh nilai yang lebih luas secara tidak langsung semisal iklan, transaksi komersial, persepsi terhadap kenikmatan dan sebagainya. Cara hidup bisa berlangsung lama terus menerus sementara gaya hidup ada pasang surut, titik jenuh dan pastinya juga trend yang mempengaruhi.
We buy things we don't need with money we don't have to impress people we don't like.― Dave Ramsey, The Total Money Makeover: A Proven Plan for Financial Fitness.
Hal yang menaik, pertama adalah gaya hidup juga ditentukan oleh pola berpikir. Tidak banyak orang yang mengira bahwa setiap keputusan atau pilihannya untuk bergaya juga adalah ikut-ikutan. Semisal hobi, atau cara menikmati hidup. Hobi itu penting dimiliki. Orang yang tidak memiliki hobi atau kesenangan tertentu sering berakhir kusam dan pening melihat dunia. Hobi tidak harus selalu mahal atau menyita waktu. Tapi sesuai kemampuan yang kemudian dipersepsi. Ikut-ikutan? Sudah pasti itu dulu baru kemudian penilaian menyusul. Seperti orang hobi tosan aji atau keris, ada yang menikmati estetika di dalamnya, ada juga yang puas menyelami kleniknya dengan beli kembang. Atau hobi ikan cupang; ada yang demen menikmati warnanya, ada juga yang demen ngadu.
Kedua, gaya hidup sering diprasangka buruk, karena identik dengan ikut-ikutan, boros, pamer, materialistik, dibangun atas hutang dan sebagainya. Pandangan semacam ini tidak sepenuhnya keliru. Sebab banyak orang memang yang seperti itu sehingga persepsi yang muncul menjadi buruk. Padahal gaya hidup haruslah dalam kerangka inisiatif, efisien, menyenangkan dan menikmati dunia. Kalo biasa dan beli barang mahal, ya gapapa dong selagi itu masuk budget, dihitung sebagai investasi, punya kualitas dan pastinya hasil keringat sendiri. Percuma sudah beli mahal, ngutang, dikejar penagih, cuma bisa dipamerkan, minim fungsi dan usia pendek. Beberapa bulan kemudian sudah out of date. jadi gaya hidup dalam konteks itu adalah menikmati hidup itu sendiri atas pilihan-pilihan sadar yang menguntungkan secara personal. Sehat tapi nggak nikmat, ya buang kesempatan. Nikmat tapi nggak sehat, ya buang umur.
Ketiga, gaya hidup juga tidak hanya bersifat material tetapi juga mencakup cara pikir dan cara pandang. Ada yang cuma puas di pikiran membayangkan punya ini itu, ada pula yang mengejar untuk bisa mendapatkannya. Selera boleh tinggi tapi belum tentu mampu. Alih-alih beli barang, cukup puas dangan brosurnya saja. Sebaliknya, mampu beli belum tentu juga berselera. Bisa jadi cuma yang murce bapuk. Intinya, selera tidak bisa dibeli dengan uang. Tapi gaya hidup tidaklah cukup hanya dengan apa yang melekat di badan. Pikiran dan cara pandang personal terhadapnya adalah menentukan bagaimana ia bisa dilihat dan dipersepsi oleh orang lain. Maka menjadi penting buat seseorang untuk merawat diri dengan baik. Nggak perlu baju mahal, tapi rapih dan wangi. Nggak perlu necis, tapi muka dirawat bebas komedo. Nggak perlu perhiasan berlebihan, tapi punya daya tarik. Itu jauh lebih baik daripada wajah kusam tak terurus, berdebu lengket, baju itu-itu aja, dekil, ongkos minjem pula.
Keempat, gaya hidup juga bukan selalu dilihat sebagai sebuah kepantasan apa yang melekat di tubuh, tetapi juga pola persepsi yang berlawanan. Orang mengira bahwa bergaya hanyalah penampilan. Padahal itu juga soal mindset. Dengan menolak gaya hidup yang dianggap macem-macem, sebenarnya itu juga gaya hidup. Percuma jika tampil sederhana, tapi isi kepala arogan, mengecilkan bahkan menganggap tampil keren itu menjijikkan. Sebenarnya mindset yang kontradiktif demikian banyak tumbuh di masyarakat. Mengejar hidup sehat tapi lupa menikmati hidup. Menganggap kemewahan itu tabu, tapi pada dasarnya emang miskin kere bin gembel. Memandang hidup harus sederhana, tapi nggak biasa usaha alias cuma bisa nadah tangan. Menjalankan pola asketisme atau tirakat hidup mati-matian, tapi emang lantaran nggak sanggup enak dan bukan karena nggak mau enak.
Jadi sebelum memilih gaya hidup, yakinkan bahwa segala potensi, kapasitas, energi, pikiran dan perasaan memang cocok di situ. Apa yang dipilih orang lain jelas tidak sama. Nikmati saja diri sendiri. Kalo sirik dan nyinyir, itu jelas kan tanda tak mampu. Terpenting adalah apa yang dinikmati adalah hasil jerih payah sendiri. Hidup harus dicecap dengan gaya sepantasnya. Kalo kebanyakan gaya, entah bisa bangkrut material atau malah bangkrut pikiran seperti orang yang pengen tapi nggak pernah meraih impiannya. Kasian kan?