Bayangkan jika seseorang hidup tanpa tujuan. Tidak pernah bisa menyelesaikan masalah dengan baik, sehingga jalan yang dipilih adalah kabur dari satu titik ke titik lain. Tidak pernah ada kepastian relasi yang bisa dibangun di dalam hidup. Selalu mencoba untuk bisa tampil tangguh tapi terlalu gengsi untuk bisa minta bantuan atau mengandalkan orang lain. Apa pun yang dikerjakan tidak memberi hasil yang memuaskan, hanya sekedar bertahan hidup dan sulit untuk bisa mewujudkan angan. Proses yang sudah menahun semacam itu akhirnya membuat diri menjadi mulai membenci banyak orang. Tanpa sebab bisa menjadi histeris, marah, tidak suka, merasa dikhianati dan pergi. Terus saja diulang di setiap saat, lingkungan dan kesempatan yang berbeda. Kebetulan orang itu adalah temanmu atau bahkan dirimu. Nah, bagaimana jadinya?
Orang Yunani Kuno menyebutnya sebagai pikros, alias pahit. Hidup dan orang tersebut memang menjadi pahit. Kemarahan yang ditelan menjadi getir berlipat ganda. Awalnya bisa menyalahkan situasi, lanjut menyalahkan diri sendiri, tapi termudah adalah menyalahkan orang lain. Dengan kepahitan hidup semacam itu, maka tujuan-tujuan yang hendak dicapai menjadi sebuah bentuk kebohongan baru. Untuk bisa kelihatan survive, harus ada cerita yang mengesankan buat orang lain. Entah keunggulan atau kesuksesan yang dipaksakan menjadi narasi tanpa pernah bisa dibuktikan kebenarannya. Hal tersebut mudah, sebab dengan kabur dari satu titik ke titik lain, maka lingkungan yang ada juga diharap berganti. Menyalahkan menjadi sebuah kebiasaan yang jadi senjata pamungkas untuk dapat cuci tangan dari sebuah kejadian. Bullshit and Blame. Gitu aja terus.
Tapi kenapa bisa begitu? Bukankah berbohong dan menyalahkan adalah sebuah proses yang melelahkan? Awalnya orang melakukan demikian karena mengira bisa beralih fokus dalam melepas masalah. Cuci tangan paling gampang. Ketika hal itu dilakukan berulang kali, maka menimbulkan pusaran konflik yang tiada henti. Kemana pun ada saja benturan karena terbiasa tipu-tipu dan tinggal pergi. Gimana nggak jadi pahit, sebab dalam kurun waktu hidup, kesempatan dan lingkungan yang terbentuk tidak ada kepastian yang berhasil direncanakan. Semua cuma numpang lewat. Nggak ada yang bener-bener mapan. Mau bicara perkawanan, karir atau relasi yang berhubungan dengan orang lain, ternyata bersifat semu. Semua jadi rendah kualitas dan nggak mutu.
Kesalahan fatal yang dilakukan ketika orang mengalami titik terendah di dalam hidup adalah mencoba kabur, berbohong dan menyalahkan. Padahal itu sebenarnya adalah kesempatan emas. Semisal pada suatu waktu seseorang berinvestasi seratus juta dan ditipu. Daripada nyalahin dan berpura-pura tidak ada apa-apa, justru pukulan psikis dan mental yang diterima pada saat itu harus mampu menguatkan pikiran bahwa ini adalah pelajaran penting. Kenapa penting? Pertama, jadi mengevaluasi perihal yang keliru disini. Kedua, memahami mekanisme dan proses yang tejadi serta refleksinya ke depan. Ketiga, ketika suatu hari kelak berinvestasi satu milyar, maka sudah pasti belajar untuk tidak ditipu dan tetap meyakini bahwa akan ada keuntungan yang bisa didapat.
Tapi tidak semua orang mau begitu kan? Pada titik terendah di dalam hidup justru malah kabur. Menganggap tidak ada yang bisa dipegang dan mencari yang lain. Berbohong pula as if nothing happened. Kayak nggak ada ape-ape tapi mendendam pada keadaan. Tidak bisa terbuka sama diri sendiri, apalagi sama orang lain. Ujungnya membebani diri dan menyalahkan orang. Dengan kata lain, peluang untuk bisa melakukan improvement atau perbaikan disia-siakan. Sebab baginya tidak ada yang keliru atau salah dalam dirinya. Semua itu karena situasi, karena keadaan, karena waktu dan karena orang lain. Hal ini menjadi kebiasaan yang terus berulang dimana saja, sehingga menimbulkan jejak yang cukup panjang. orang lain kemudian mengenalnya sebagai sosok yang selalu merasa benar, gengsian, penuh drama, histeria, kesepian, selalu merasa terpuruk, pura-pura bahagia, menertawakan orang lain, tapi selalu tercekam oleh masa depan. Membebani diri? Sudah pasti.
“Bitterness is venom that consumes its host.” ~Matshona Dhliwayo
Meski demikian biar gimana juga, manusia selalu menjadi berguna buat yang lain. Paling tidak, sebagai contoh yang tidak patut ditiru kan? Semua orang pasti pernah tersungkur sewaktu-waktu. Itu biasa banget. Reaksi yang timbul terhadap kejadian semacam itulah yang tanpa sadar sebenarnya menentukan bagaimana arah ke depan. Kalo nggak berubah, ya sama aja kayak keledai jatuh ke lubang yang sama. Apalagi kalo lari dari kenyataan. Menganggap bisa selesai begitu saja, tapi pola yang digunakan tidak berubah. Always Bullshit and Blame. Akhirnya jadi puyeng sendiri. Gimana mau ada perbaikan jika begitu aja terus. menelan kepahit getiran tapi sambil misuh-misuh. Atau jangan-jangan nangis di pojokan. Siapa tau.