Kata inspirasi itu sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana seseorang mendapat ide kreatif atas dasar melihat aktivitas, pengalaman, kerja bahkan hidup orang lain. Inspirasi tidak datang dengan sendirinya. Ia timbul setelah mengolah refleksi terhadap situasi sekitar termasuk orang lain tersebut untuk bisa mengembangkan gagasan tersendiri. Maka sampai pada titik itu, inspirasi tidak orisinal. Sebab ide kreatif yang murni itu sangat sulit datang begitu saja. Dengan demikian, apakah sebuah inspirasi juga sama dengan menjiplak? Tergantung dari sudut pandang dan kejujuran pastinya.
Contoh soal inspirasi yang muncul bisa kita lihat di dalam dunia seni dan kreatif di negara ini. Orang tau semisal poster-poster film hingga lagu banyak pula yang cuma meniru dari aslinya di luar sana. Poster film India yang berjudul 1920 Evil Return, tetiba persis seperti film Miteri Cipularang. Lagu Cinta Mati yang dibawakan penyanyi lokal, mirip dengan Do You Believe In Love-nya Sergio Mendez. Tidak hanya itu, bahkan penampilan dan karakter juga demikian. Seorang mantan mentalis yang kini rajin bikin podcast, dulu dandanannya yang serba hitam itu meniru pesulap Amerika, Max Maven. Demikain juga seorang vokalis band dari Bandung yang ngetop di era tahun 1990an ternyata menjiplak Hide, gitaris X Japan almarhum mulai dari topi koboi, kacamata hitam, hingga gayanya ketika membawakan lagu.
Jadi apa yang otentik dan orisinal? Nggak ada. Sama kayak situ berdandan elpis-elpisan. Sebab dalam taraf supervisial atau di kulit permukaan, meniru memang mudah. Tapi semuanya bakal ketahuan. Bisa jadi gegara dunia digital semua informasi terbuka, maka paling gampang cengengesan sambil ngaku kalo terinspirasi. Bagaimana jika tidak? Sebelum era internet, hanya orang-orang tertentu macem artis atau produser yang punya akses hingga keluar. Bisa jadi mereka nonton langsung atau dapat videonya sehingga jadi punya ilham untuk mencontoh. Sementara publik kala itu mana ngerti kalo yang begituan sudah dilakukan oleh orang lain di luar negeri. Jadi meniru mentah di jaman begini bakal cepet basi. Boro-boro jadi keren, malah tambah buluk itu penampilan.
Hal yang sama sebenarnya juga berlaku di dalam dunia bisnis dan industri. Sebelum tahun 1970an, Jepang dikenal sebagai produsen barang-barang murah tidak berkualitas. Istilah sekarang, abis beli pake sebentar terus buang. Lama-lama Jepang yang awalnya meniru juga kemudian bisa mengembangkan banyak merek yang terkenal dan berkualitas seperti Sony, Toshiba, Panasonic dan lainnya. Mobil-mobil Jepang yang dulu dikenal ringkih pun kemudian diminati secara luas. Apa yang dilakukan Jepang dalam satu dekade kemudian ditiru pula oleh Korea. Brand seperti Samsung, LG dan Daewoo pun bisa keluar menjadi ekspor yang mengagumkan hingga saat ini. Selesai? Belum pastinya. Giliran China yang mengusung Xiaomi, DFSK dan dan merek lain seperti One Plus, Oppo, Vivo dibawah BBK Group gantian menggempur pasar. Masih relatif lebih murce pastinya. Lantas kita kapan? Itu pertanyaan lain.
Jadi soal inspirasi itu memang mahal. Ide yang muncul harus bisa berkembang tidak berhenti di satu titik. Selain itu, orang harus berani jujur dan terbuka dulu untuk mengatakan apakah ide kreatif yang dihasilkan mendapat pengaruh dari orang lain. Jika iya, seberapa banyak? Pastinya kalo ngaku 90% aja sudah malu-malu kucing, apalagi seratus persen meniru ya nggak tau malu. Padahal nggak ada yang salah dengan meniru. Terlebih di jaman digital begini segala akses informasi bisa terbuka lebar. Orang nggak perlu berpayah merenung di bawah pohon untuk menunggu ilham turun. Paling-paling ketiban buah nangka yang jatuh.Tapi ini sekaligus menjelaskan pula bahwa meniru pun tidak gampang. Harus ada upaya untuk bisa menyesuaikan, membuat kombinasi serta menghasilkan sesuatu yang dapat diterima secara berbeda. Selain itu, produk tiruan juga punya tuntutan agar bisa dikembangkan lebih baik dari aslinya. Kalo hanya sekedar jiplak, paling banter masuk ke dalam selera dan daya beli yang lebih rendah. Berpuas diri malah terlempar dari pusaran kreatif.
“You have to make the good out of the bad because that is all you have got to make it out of.” ~ Robert Penn Warren, All the King's Men
Saking mahalnya inspirasi, maka berdampak pula kepada market mana yang siap menerima. Jika seseorang mengaku orisinal tapi kagak ada pengembangan secara serius, maka balik lagi ke hukum pasar; berbanding lurus dengan konsumen yang juga segitu-gitu aja. Jadi inspirasi bukan lagi soal otentik atau asli. Tapi sejauh mana ide kreatif itu bisa dikembangkan lebih baik dan mendapat apresiasi yang setara. Harus siap untuk masuk ke segmen yang lebih luas, punya tuntutan tinggi, menghargai kualitas dan memberikan hasil yang maksimal. Itu sama dengan menjadi Jepang, Korea atau China tidak berhenti hanya dengan sekedar meniru. Mimikri dan replika sudah banyak bertebaran. Jika hanya berhenti dengan merayakan, maka ide kreatif hanya layak ngejogrok di kubangan. Sekali maen di sana, ujungnya ketemu kebo buluk doang kan?