Sebagian orang tentu pernah mendengar idiom born with a silver spoon in one's mouth, atau terlahir dengan sendok perak di mulut. Itu menggambarkan tentang orang yang sudah tajir melintir sejak lahir. Intinya, nggak pernah merasakan susah. Kalo pun bangkrut, masih bisa mempertahankan gaya hidupnya. Idiom tersebut sebenarnya sering digunakan untuk menggambarkan kelas elit sosial politik, terutama yang ada di negara ini. Suka atau tidak, semodern apapun situasi yang ada semisal pendidikan atau lifestyle, tapi tetap saja urusan mental masih tetap feodal. Berasa harus dilayani dan mendapat privilese. Maka tidak mengherankan jika kelas elit berusaha sekuat tenaga mempertahankan kekuasaan dan dominasi, sementara kelas di bawahnya juga pengen meniru. Minimal pake nguing-nguing di mobil dan maksa minta jalan adalah karakter mimikri kelas menengah. Kelas bawah? Cukup jadi keset yang selalu diminta suaranya setiap ada pemilihan umum.
Itulah sebabnya kekuasaan jadi gurih pedas. Tidak saja buat politisi yang berkuasa, tetapi juga oposan di pinggiran. Jangan salah, biar ngemper tapi kan tetep berusaha untuk bisa ke tengah. Minimal ya gayanya dulu. Dengan berusaha menarik simpati, pembicaraan yang menyangkut topik krusial semisal kemiskinan, kesempatan kerja, edukasi, keadilan sosial jadi laris manis di mulut. Membela rakyat tertindas katanya, pro orang lemah katanya. Apakah pernah susah? Belum tentu. Apakah pernah merasakan jatuh? Mungkin tidak. Sendok perak di mulut itulah yang membuat jarak dan semakin konyol. Semisal membicarakan kemiskinan lewat podcast atau media sosial, tapi hidup tak pernah kekurangan. Bicara soal kesempatan kerja dan edukasi, tapi bisa mencicip kuliah di luar negeri, dapet doktoral honoris causa, atau malah seumur hidup nggak pernah kerja. Sah-sah aja sih ngemeng begitu. Namanya juga tidak ada yang melarang. Tapi secara etis tentu saja dipertanyakan; bagaimana mungkin sebuah kepedulian hanya ada secara superfisial tanpa perneh menyentuh langsung atau merasakan apa yang dibahas?
Sementara kelas menengahnya cenderung cuek, masabodo, dan sibuk berjibaku. Di satu sisi, mereka yang pernah sukses dan jatuh saat pandemi atau krisis ekonomi akan punya trauma tersendiri. Dalam situasi yang terendah sekalipun belum tentu orang mau meninggalkan gaya hidup yang lama. Dulu pernah seneng kok, kalo sekarang susah ya tetep aja cost-nya jadi mahal. Ogah turun kelas. Di sisi lain, upaya untuk naik ke atas itu susahnya minta ampun. harus sikut-sikutan dalam piramida yang semakin mengecil. Apalagi kalo masih mengandalkan gaji dan nggak punya pendapatan lain. Lebih berat jika gengsi masih terus dipiara. Kondisi yang dilematis itu membuat kelas menengah jadi cenderung apatis dan hanya sesekali kritis jika antriannya disela atau kepentingannya dirugikan. Nggak lebih. Kelas bawah ya wassalam aja. Mau naik jadi kelas menengah jauh lebih ribet bukan karena kapasitas ekonomi, tapi gaya hidupnya masih belum terbiasa. Maka kritik terhadap mereka adalah seringkali hanya jadi gimmick buat political marketing, sementara sehari-hari larut dalam sinetron, cicilan motor, pongsel dan dunia maya. Jika ada kesempatan, mental gragasnya masih suka keluar. Kecuali buat mereka yang memang benar-benar susah maka seringkali ditemukan solidaritas yang benar-benar asli.
“The best argument against democracy is a five-minute conversation with the average voter.” ~Winston S. Churchill
Begitulah siklus di antara ketiganya. Ketika kelas elit bicara kemiskinan, maka jadi sontak menggelikan. ketika kelas bawah bicara kesuksesan, maka jadi mainan buat kelas di atasnya. Maka nggak heran jika alam demokrasi dengan mentalitas feodal semacam itu selalu diterjemahkan dengan bagaimana kelas elit berusaha untuk tetap bertahan dengan memberi tahu kelas menengah bahwa kelas bawah adalah ancaman. Untuk itu kelas menengah harus loyal setia dan bayar pajak tentunya. Sedangkan kelas bawah dibisiki kelas elit bahwa mereka berhak untuk naik kelas, menyingkirkan yang lama demi keadilan sosial. Kelas menengah yang tak acuh akan tanpa banyak cingcong mengikuti aturan. Kelas bawah dibuat selalu gelisah dengan urusan upah dan kesejahteraan, tak berasa akan selalu dimanfaatkan setiap ada siklus pemilihan dan kepentingan. Cakep kan?