Insting atau naluri adalah bagian tak terpisahkan dari makhluk hidup. Ia merupakan percikan energi psikis yang mendorong siapapun juga untuk berperilaku spontan ketika menghadapi sesuatu. Misalnya saja pada binatang, naluri mendorong mereka untuk melindungi anaknya, mencari makan, atau mempertahankan diri. Demikian pula pada manusia. Pernahkah bulu kuduk berdiri pada saat mata kita tidak melihat apapun? Itu bagian dari insting. Atau seringkah kita bermimpi jatuh saat tidur sehingga mendadak bangun? Itu juga insting. Bulu kuduk merinding sebab ada sesuatu yang hadir dan naluri mendorong orang untuk bertindak, entah menghadapi atau kabur. Biasanya sih milih ngacir. Bermimpi jatuh adalah warisan perilaku nenek moyang jaman primitip ketika masih tidur di atas pohon dalam konteks survival. Konon katanya gituh.
Tapi mengapa manusia jaman sekarang nggak terlalu hirau dengan insting? Benarkah insting kita sudah sedemikian tumpul sampai tidak ada lagi perilaku spontan? Pertanyaan seperti itu ada benarnya. Pertama, sebagai sosok yang mengandalkan pengetahuan, perasaan dan seringkali dibumbui keimanan, maka insting kita sudah melemah. Akal, hati dan keyakinan menjadi terlalu dominan sehingga mekanisme pertahanan diri yang paling mendasar dengan mengandalkan naluri sudah dianggap tidak cocok lagi. Kedua, Naluri dianggap identik dengan kebinatangan. Orang yang bertindak spontan seringkali dianggap bodoh. Padahal insting kerap menyelamatkan. Hanya saja manusia sudah saking menganggap dirinya berbeda dengan hewan, melupakan hal itu. Itulah jumawanya manusia; padahal jelas-jelas dia binatang juga. Punya tulang ekor kan? Malah sering perilakunya melebihi binatang. Insting sendiri beda dengan firasat, sebab firasat merupakan kata hati yang muncul setelah adanya gelagat atau indikasi. Firasat lebih tertuju kepada orang lain seperti ibu terhadap anaknya. Ada ikatan yang kuat yang menyebabkan firasat muncul. Sedangkan insting muncul sebagai antisipasi spontan. Semisal pesilat atau petinju yang menggunakan insting tajam dan dikendalikan dengan benar sehingga mampu mengalahkan lawan.
Lantas mengapa insting masih dianggap penting bagi manusia? Tanpa disadari bahwa akal sehat kerap kali memberi pembenaran kepada tindakan. Orang merasionalisasi segala keputusan agar bisa diterima. Contohnya saja dalam memilih atau memutuskan untuk pindah, cari pasangan, ganti pekerjaan dan sejenisnya. Semua keputusan itu selalu didasari pertimbangan logis. Apakah semuanya bisa diukur? Jelas tidak. Biasanya baru nyesel ketika tempat yang baru ternyata tidak ramah, pasangan tidak cocok, pekerjaan tidak menyenangkan. Tapi pembenaran pasti terjadi, Ah namanya juga baru, namanya juga penyesuaian, namanya berproses blabla. Kemudian perasaan memperdaya. Menghibur diri bahwa seolah keputusan yang diambil sudah benar. Semua kembali diukur dengan keyakinan bahwa pasti bisa, pasti mampu, pasti sukses. Tempat yang baru dan tidak ramah itu hanya sementara, pasangan yang ternyata menyebalkan itu bisa luluh, atau pekerjaan yang tidak menyenangkan pasti bisa ditaklukan. Itulah ciri perasaan; demen mengeksploitasi dan membesar-besarkan diri. Sebab tujuannya adalah mencari kenyamanan. Meski semu dan sesaat, kenyamanan semacam itulah yang setidaknya memberi cecap rasa manis meski getirnya di belakang dan berkepanjangan.
Dengan kata lain, akal bisa memberi pembenaran dan perasaan bisa memperdaya, tapi insting tidak pernah bohong. Maka ukuran yang digunakan insting adalah spontanitas ketika melihat tempat baru, situasi atau keadaan baru, bahkan orang baru. Insting akan menunjukkan bahwa ada yang tidak beres di awal, sedangkan akal dan perasaan baru melihatnya ketika sudah berporses dan ada inkonsistensi di situ. Misalnya saja ketemu orang yang di depan bermanis-manis, insting sudah pasti menolak secara spontan. Tapi dasar namanya akal dan perasaan, ya terima saja dulu sambil berproses, sambil mengamini dan kemudian bilang "jalanin aja dulu'. Begitu yang manis-manis hilang dan mulai dihadapkan dengan kenyataan bahwa apa yang diambil ternyata tidak sebagus impian di awal, maka pikiran dan hati mulai kebingungan. Mau mengandalkan insting lagi? Sudah jelas ada pertanda di awal, kok malah didiemin.
“Instinct is a marvelous thing. It can neither be explained nor ignored.” ~ Agatha Christie, The Mysterious Affair at Styles
Jadi melatih insting dan menggunakannya tetap menjadi bagian tidak terpisahkan dari manusia. Dominasi akal dan perasaan, sudah waktunya untuk mulai dikurangi. Sebab di jaman gini, banyak hal yang dihadapi dan dibungkus sedemikian menarik tapi isinya zonk. Persis oleh-oleh kripik apel Malang yang bungkusnya premium gembung, tapi isinya cuma beberapa keping. Akal jelas hanya melihat kemewahan bungkusan. Perasaan meraba bahwa kalo gembung gitu pasti banyak isinya. Insting sejak awal sudah curiga lantaran beratnya nggak seberapa dan udah gitu mahal. Tapi begitulah kita. Pertanda itu sebenarnya sudah diterima dan ada di dalam diri kita sendiri. Cuma gegara mau mengejar apa yang dianggap enak, kita mengabaikan itu. Padahal insting itu akan sangat berguna seperti halnya monyet memutuskan akan minum di sungai tanpa harus melihat terlebih dahulu apakah tampak ada buaya atau tidak. bagaimana dengan manusia? Udah tau ngadepin buaya masih aje dijabanin. Jadi monyet goblok kan namanya.