Seorang tokoh nasional pernah bilang gini; dia punya temen yang sebenarnya secara ekonomi biasa banget. Standarlah gitu. Tapi kemana-mana dia selalu berusaha untuk bisa tampil mewah. Terbang nggak pernah naik kelas ekonomi tapi bisnis. Penampilan meyakinkan. Lama-lama ternyata bisa kaya dan gayanya tetap sama. Ada juga temen satu lagi yang sudah kaya banget. Tapi punya resep khusus buat penampilan. kemana-mana nggak pernah pake barang branded. Kaos pun polosan aja nggak ada gambar atau motif yang mencerminkan merek tertentu. Itu persis yang dilakukan Bill Gates atau Elon Musk. Jadi persoalan menjadi kaya itu adalah soal mindset. Menyiapkan diri dan terbiasa supaya nggak jadi kagetan. Sebab ada juga orang yang ketika punya duit lantas jadi bertingkah boros, tidak mengolah kekayaan menjadi aset yang berdaya guna, atau malah ujungnya jadi nombok.
Nah, dengan ketidaksiapan dan tidak terbiasa mengolah materi, maka sebenarnya posisi terbalik dari mental kaya ya mental miskin. Sebenarnya urusan kaya miskin memang bukan semata materi tapi ya itu tadi; pola pikir. Memenuhi kebutuhan menjadi relatif ketika seseorang mampu atau tidak mampu mengolah apa yang ada di dalam dirinya. Punya satu motor butut jauh lebih kaya ketimbang mobil mewah dengan cicilan. Tapi jika motor butut atau mobil mewahnya nggak pernah dirawat, dibiarkan ngejogrok, nggak berdaya guna ya berarti secara mental memang miskin; nggak mampu mengolah. Jadi mental kaya atau miskin adalah berangkat dari pola pikir yang ada. Jika mental miskin dibiarkan, maka bisa jadi penyakit hati. "Udahlah emang kita nggak mampu jadi harus tau diri cuk, ngapain naik kelas bisnis? mending nggak usah pergi sekalian" atau sebaliknya "sekalian aja beli kaos yang mahal sekalian biar orang lain jadi terkesan atas pencapaian". Kedua pernyataan itu ya sama saja. Di satu sisi ada yang merasa selalu rendah, tapi di sisi lain merasa harus punya pembuktian. Mental kaya nggak perlu merasa rendah tapi nggak juga harus belagu. Biasa aja. Semakin lama menjadi penyakit hati, maka sudah pasti energi pikir dan hatinya menjadi negatif. Bahagia kagak, sehat belum tentu, tapi bawaannya rusuh terus. Kagak tenang jadinya.
Maka nggak heran jika orang bermental miskin biasanya jadi sangat gengsian. Sibuk dengan impresi yang harus diberikan buat orang lain. Pengen kelihatan sukses, berhasil, sugih, tapi cuma sebatas omongan yang diwujudkan kalo perlu dalam bentuk hutang atau pinjaman. Beli nganu ngono mahal tapi nggak ada skala prioritas. Nggak punya dana memadai untuk soal pendidikan hingga kesehatan. Mungkin makan aja dibatasi. Tapi tampilan harus mewah. Jadi kalo ada duit, cenderung dihabiskan. Dengan demikian nggak punya perencanaan matang terhadap masa depan. Seketemunya aja. Sedapatnya juga. Ibarat rejeki macan, sekali telan bulat-bulat tapi kemudian puasa berminggu-minggu.
Tapi punya duit atau nggak punya duit, mental miskin biasanya akan jadi sangat perhitungan. Kalo bisa minta orang lain atau cari gratisan. Minjam mungkin jadi kata kerja bentuk terakhir, sebab ada gengsi juga di situ. Kalo bisa malah minta dibagik atau dikasih rada maksa. Mentalitas seperti ini jelas beda dengan kondisi orang yang benar-benar butuh apalagi berbisnis. Orang berbisnis bisa saja pinjam dalam jumlah sangat besar, tapi punya jaminan, punya portofolio dan sudah pasti ada jadwal pengembalian. Tapi mereka yang bermental miskin akan sibuk dengan pinjaman kecil-kecilan. Minta juga nggak banyak, tapi sering. Sebab jadi senjata utama untuk bilang 'Lu jumlah segitu doang kok ribut sih minta dikembaliin? Nggak temen banget lu". Ujungnya orang lain akan dibuat sungkan, iba atau mungkin jijik sehingga kapok untuk kasih duit. Hanya saja mereka nggak akan kapok untuk balik lagi dengan muka cengengesan dan rada melas.
Begitu mereka pegang uang, apa iya mau berbagi dengan orang lain? Jelas tidak. Alasannya akan ada aja. Biasanya lebih karena keperluan pribadi. Apapun yang ada di dalam dirinya jelas bukan untuk orang lain. Tidak saja uang, tapi juga tenaga, pikiran bahkan waktu. Sebisa mungkin untuk berusaha efisien dan efektif untuk tidak berguna bagi siapa saja kecuali dirinya. Alasannya ada aja ntar, ada keperluan pribadi, urusan keluarga, sodara meninggal, orangtua masuk rumah sakit, tetangga dipenjara, pak lurah korupsi, dan sebagainya. Ada perasaan takut jika apa yang dipegangnya sekarang bakal habis tersita untuk orang lain. Padahal ketika butuh, tidak akan sungkan untuk jilat pantat. Nggak heran jika orang yang berlagak kaya akan kebingungan dan benci ketika ditanya soal iuran, pajak, sedekah, serta kewajiban-kewajiban sosial lainnya.
“One of the worst enemies that sets the platform for developing a poverty mindset is your background. Where you come from, the mindset of the people you deal with, what you know, and your experiences can set the tone that can cause you to believe that you are born to be poor. You can only get out of that dungeon of a mindset by revolutionizing the way you think.” ~Oscar Bimpong
Jadi mentalitas miskin itu sadar atau tidak, banyak menyerang orang yang kemudian menjadi egois dan tidak punya perhitungan yang matang selain untuk kepentingan pribadi. Menjadi kaya adalah jelas sebaliknya; bagaimana orang bisa berguna juga untuk mendatangkan segala sesuatu yang mengandung kebaikan bukan saja buat dirinya tapi juga orang lain. Bisa membuat orang lain sejahtera dengan membayar gaji hingga menyediakan produk berkualitas sudah pasti adalah sebuah kekayaan tersendiri. Sebab kaya tidak diukur dengan uang, tapi miskin sudah pasti jadi penuh perhitungan. Maka nggak heran jika mental miskin penuh dengan prasangka, iri, fitnah dan juga benci tak beralasan. Orang yang bermental miskin kemudian akan dipandang rendah dan hina oleh yang lain. Bahaya kan? Makanya jangan.