Di abad ke-21 ini perkembangan teknologi informasi menjadi semakin cepat. Revolusi yang beranjak dari mesin menuju robotisasi, kini sudah melangkah lebih maju dengan artificial intelligence atau kecerdasan buatan. Hal yang menarik adalah penggunaan teknologi kini sudah merambah masuk bukan saja dalam skala indutri tetapi juga rumah tangga. Peralatan home appliances seperti kulkas, mesin cuci, penanak nasi hingga penyedot debu sudah menggunakan bentuk kecerdasan sendiri dalam penggunaan, kecepatan, ketepatan dan hasil yang diinginkan. Dengan kata lain, rumah sudah menerapkan bentuk teknologi yang terkoneksi dan terintegrasi satu perangkat Internet of Things dengan yang lain. Semisal CCTV dengan alarm, bel pintu, sensor dan penggunaan sekuriti yang terhubung melalui internet.
Salah satu ciri perkembangan teknologi yang semakin mumpuni adalah menyatukan beragam fungsi dalam satu perangkat atau genggaman saja. Misalnya seperti ponsel. Jaman sekarang, semua fungsi selain komunikasi ada di situ. Mulai dari fotografi, sinema, mengolah dokumen, menyimpan data, alat ukur, alat bayar, bermain dan sebagainya. Maka orang lebih nggak bermasalah jika ketinggalan dompet ketimbang ketinggalan ponsel di rumah, sebab nyarus semua aktivitas bergatung dari situ. Tentu saja itu semua adalah bentuk kemajuan tersendiri, mengingat semakin lama penggunaan teknologi juga mengharuskan cara dan metode penggunaan yang bersifat ramah lingkungan. Tidak ada lagi penyia-nyiaan sumber daya alam atau bahan baku yang kemudian membuat habitat manusia semakin rapuh tertekan oleh perubahan iklim. Sebagai contoh adalah kertas yang kini semakin lama semakin ditinggalkan. Jika semua data tersimpan di cloud dan bisa diakses tanpa harus mengandalkan bentuk fisik, maka itu adalah sebuah efisiensi yang sangat diharapkan. Lama-kelamaan buku dan dokumen cetak lain semakin obsolete dan tidak digunakan lagi. Membaca menjadi aktivitas yang sangat efektif ketika berhadapan dengan tablet atau perangkat yang dalam perkembangannya semakin memudahkan mata manusia.
Di balik beragam kemudahan semacam itu, masih ada kecemasan orang ketika berhadapan dengan teknologi. Perkembangan yang sedemikian cepat memang manghasilkan ketidaknyamanan. Pertama, orang harus mampu menyesuaikan diri. Di jaman yang serba tidak pasti semacam ini, entah gegara perang atau pandemi memang sudah selayaknya manusia bisa dengan segera membaca situasi, kemudian mengambil keputusan dengan segera. Orang yang pencemas, tentu saja melihat bahwa ada banyak hal yang tidak dapat dipegang dan dikuasai segera. Di satu sisi, sudah terbiasa dengan kenyamanan yang bertahun-tahun tak berubah. Di sisi lain, dengan gusar menggerutu bahwa rasa nyaman itu direnggut tiba-tiba. Biasa pake barang tertentu terpaksa harus ganti. Masih bertahan dengan ponsel 3G tapi sekarang sudah 5G. Mau misuh tapi tetep ngandelin Whatsapp.
Kedua, ada kekuatiran bahwa teknologi menjadi terlalu mahal sehingga orang tidak mampu membeli. Padahal itu adalah doktrin pasar berkaitan dengan konsumsi, "jangan pernah berusaha memiliki jika tidak memiliki pendanaan yang pasti teralokasi" dan "bedakan antara ingin dengan butuh". Bagi penggemar teknologi terutama kelas avant-garde tentu saja teknologi menjadi menggiurkan ketika dikaitkan dengan mode atau keinginan untuk menjadi yang tercanggih. Padahal, apakah itu dibutuhkan? Sama halnya dengan orang yang demen membeli ponsel mewah. Udah kredit, fungsinya juga tidak pernah bisa maksimal. Cuma dipake buat chat doang. Tentu ini menjadi kritik bagi mereka yang sebaliknya sedapat mungkin tidak berpindah gawai hingga teknologinya sudah tidak supported. Kalo dah gitu baru deh terpaksa beli. Atau malah menganggap kegemaran untuk selalu up to date terhadap teknologi adalah hal yang menggelikan. Ya tinggal bilang aja nggak punya duit daripada masuk ke kategori kaum mendang-mending; mending yang ini, bagusan yang itu, tapi enggan merogoh kocek lebih dalam. Nonton lebih nikmat ya?
Ketiga, ada ketakutan akan monopoli dan dependensi terhadap teknologi. Bahwa ada sekian juta data berkaitan dengan privasi tetapi bocor kemana-mana. Bisakah dihindari? Sulit. Sebab begitu mengakses apapun tetap saja ada data yang juga bocor sekecil apapun. Membeli atau berlangganan produk secara daring, sama saja ketika anda beli sesuatu dan harus mengisi data konsumen secara luring. Jadi tinggal perkara dan pandai-pandai aja memberikan data agar sebanding dengan apa yang didapat. Ada banyak jalur juga yang bisa digunakan berkaitan dengan kerahasiaan untuk secara legal melakukan protes atau bahkan tuntutan. Demikian halnya dengan dependensi ketika orang menjadi zombie gegara ponsel, atau mata tidak bisa lepas dari game online. Salah ponselnyakah sehingga harus dihancurkan? Itu justru menunjukkan ketidakberdayaan orang ketika berhadapan dengan teknologi.
“The Web as I envisaged it, we have not seen it yet. The future is still so much bigger than the past.” ~Tim Berners-Lee, Inventor of the World Wide Web.
Lantas apa masalahnya? Kekuatiran, kecemasan dan ketakutan itu ternyata banyak pula yang tidak berdasar. Entah karena gagap, gugup atua gusar gegara harus berhadapan dengan perkembangan yang begitu cepat dan bisa jadi menyakitkan. Akan tetapi pada saat ini hampir semua orang dalam ekosistem manusia modern sudah tidak bisa terlepas dari perubahan semacam itu. Semakin menghujat teknologi, semakin menunjukkan bahwa manusia itu rapuh dan nggak tau harus berbuat apa. Gaptek kok bangga? Ini tentu saja bukan pernyataan yang mengagungkan teknologi. Sebab perkembangan semacam itu adalah sebuah bentuk kepastian. Tinggal perkara bagaimana manusia yang ada mampu secara kritis menyesuaikan dan menyeleksi apapun yang menjadi kebutuhan. Dengan demikian, ada skala prioritas berbasis kebutuhan dan kemampuan untuk menikmati teknologi. Jika pun belum tersentuh, maka itu masih menjadi opsi tersendiri. Biarkan saja.
Kalo pun ada yang harus dikritik, adalah bagaimana doktrin pasar berkaitan dengan penyedia jasa. Ini sebuah dilema bahwa ketika mereka berdiri sendiri-sendiri dengan standar masing-masing, maka kemungkinan akan ada kesulitan bagi konsumen untuk bisa selektif memilih. Akan tetapi ketika mereka melakukan praktek oligopoli dengan menyamakan standar, konsumen pun tidak punya banyak pilihan untuk masuk dalam skenario pasar yang ada. Semisal untuk konsep smart home, ada merek A, B atau C. Mau tidak mau orang harus pilih salah satu. tapi bayangkan jika A, B, dan C kemudian melakukan oligopoli untuk menguasai pasar. Lagi-lagi konsumen nggak punya pilihan kan? Selain itu, kebutuhan akan teknologi juga jelas membuat orang harus mengikuti perkembangan bukan karena gegayaan. Justru dilakukan agar tetap bisa masuk kepada ekosistem yang menyesuaikan. Tinggal pilih mau ekosistem yang mana, entah seperti Apple atau Microsoft, sesuai dengan kebutuhan. Asal pengen asal keren bisa bahaya buat kantong kan?
Itulah sebabnya, butuh cermin yang luar besar dengan perspektif luas untuk melihat bagaimana teknologi berdampak kepada manusia. Jika hanya sekedar menolak, anti dan kemudian menjauh, ya baiknya tinggal di dalam gua aja. Nggak ada kloset, tanpa toilet. Lama-lama biasa kan dengan baunya?