Sepedas-pedasnya kritik atau segurih-gurihnya rayuan, seringkali punya harapan yang sangat luarbiasa; mengubah orang lain. Betapa tidak, kritik atau rayuan adalah cara mengevaluasi dan memberi masukan sekaligus sebagai dorongan agar konon katanya orang bisa lebih baik lagi. Mulai dari yang tadinya pasif bisa menjadi aktif, mulai dari yang males-malesan bisa jadi rajin, mulai dari yang awalnya ogah-ogahan kemudian bisa bergerak. Akan tetapi tidak jarang harapan hanya tinggal harapan. Apalagi jika orang yang dituju pada dasarnya sudah berumur, ndableg, bebal dan memang tidak terbiasa mendengarkan apapun. Budeg itu bukan cuma penyakit fisik lho, secara akut itu juga bisa masalah psikis kronis dan patologis yang memang nggak ada obatnya.
Lantas mengapa jika sudah berkali-kali diomongin masih aja ada orang yang mengabaikan dan menolak kritik atau rayuan? Mengapa nasehat yang dianggap berguna malah dibiarkan atau bahkan ada resistensi? Pertama, sudah pasti dan jelas bahwa tidak semua orang berpikir sama. Tujuan yang baik belum tentu selealu identik dengan niat baik. Niat yang baik belum tentu juga dianggap punya hasil yang baik. Pikiran yang tidak sama, meski sudah ada jalur atau kanal komunikasi yang jelas itu bukan semata soal persepsi. Persepsi adalah apa yang tumbuh dari hasil paradigma, kebiasaan, pendidikan, lingkungan dan sebagainya. Mungkin orang lain melihatnya sebagai sebuah kemalasan, tapi yang bersangkutan berpendapat itu hanya soal penundaan meski entah sampai kapan. Mungkin orang lain memandangnya sebagai sebuah kebebalan, tapi yang bersangkutan berpikir bahwa itu tidak relevan dan kebingungan.
Kedua, dengan cara berpikir yang tidak sama serta latar belakang yang tidak sama pula, maka ada faktor yang lebih besar lagi dan berpengaruh yakni budaya diri dan sekitarnya. Contoh sederhana adalah soal bagaimana tepat waktu, tepat janji atau omongan, serta tepat tenggat dalam memenuhi target sebuah pekerjaan. Dalam budaya diri dan lingkungan yang mendukung, kebiasaan-kebiasaan itu tumbuh dan ada sebagai hal yang wajar. Menjadi tidak wajar jika di dalam populasi ada yang selalu ngaret, ngemeng doang dan tidak pernah tuntas menyelesaikan tugas. Sebaliknya dalam kultur yang terbalik, orang dengan kebiasaan disiplin, kerja keras dan menepati janji dianggap aneh. Situasi semacam itulah yang kemudian menjadi alasan permakluman soal ketidakbiasaan, barang baru dan keheranan mengapa da orang yang menepati atau sebaliknya ingkar janji. Padahal dari sisi logis maupun etis, siapapun tau mana yang pantas dan layak untuk dikerjakan.
“Trying to change someone, and their views, is like throwing paper into a fire.” ~Anthony Liccione
Ketiga, pembedaan semacam itu menunjukkan bahwa mengubah orang adalah pekerjaan yang nyaris sia-sia. Dorongan untuk berubah idealnya datang dari diri sendiri dan bukan karena sekedar memenuhi kritik, nasehat atau tergiur dengan rayuan. Dorongan untuk berubah karena kapasitas dan kualitas yang sudah ada bisa ditingkatkan dan bukan sekedar diubah. Mengubah adalah pekerjaan tersulit terlebih jika tumbuh dalam habitat yang tidak mendukung, karakter yang tidak mumpuni dan niat cuma jadi sekedar niat. jadi ada orang-orang yang mau diapain juga ya tetap nggak berubah kan?
Itu sama kayak orang abis dengerin khotbah; berasa bisa mengerjakan sesuatu agar hidup lebih baik sampai mengharu biru teringat dosa, eh beberapa hari kemudian maksiat lagi. Gitu aja terus.