Satu kata yang biasanya orang cukup takut adalah perubahan. Sebab perubahan dianggap mengandung unsur ketidakpastian, keterpaksaan atau bahkan meninggalkan kenyamanan. Berubah juga dilihat butuh upaya keras untuk bisa menggeser atau mematahkan nilai, kebiasaan, cara hidup, pola pikir atau hal lain yang bersifat konseptual hingga praktik dari bentuk lama ke bentuk baru yang lebih berbeda. Apakah benar demikian? Jika dibilang iya, maka nggak heran jika orang bukan saja takut tapi benci untuk berubah. Sebab memang ternyata nggak gampang.
Perubahan memang menakutkan, tapi diperlukan agar orang bisa tumbuh berkembang. Seringkali mereka yang tidak ingin berubah beranggapan bahwa nilai atau cara mereka sejauh ini sudah membuat diri nyaman. Ada juga yang berpikir bahwa sejauh ini pula perubahan tidak dibutuhkan karena sudah berasa benar. Ada lagi yang menyatakan bahwa pilihan-pilihan yang dilakukan hingga saat ini sudah memenuhi kebutuhan. Akan tetapi yang sering bahkan selalu dilupakan adalah dunia ini begitu dinamis, mempengaruhi dan termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada sesuatu yang bisa everlasting. Selalu ada guncangan baik kecil maupun besar yang kemudian memaksa orang harus mengevaluasi pilihan yang sudah dilakukan.
Contoh kecil adalah kebiasaan orang memakai guling. Kelekatan terhadap benda jelas menimbulkan kenyamanan, sudah ajeg dan pas dengan kebutuhan. Bagaimana ketika travelling dan ternyata hotel tidak menyediakan guling? Buat yang tidak terbiasa, baru pertama berpergian, tentunya hal itu bikin tidak nyaman. Alih-alih bisa istirahat, malah jadi susah tidur. Contoh yang lebih besar dan serius adalah ketika kerja dalam situasi yang serba nyaman. Punya boss sangat suportif, gaji besar, lingkungan bebas toxic, ada teamwork yang solid. Begitu dihajar pandemi, ganti boss yang menindas, gaji dipotong, orang-orang baru yang beracun, kerja tim nggak jalan, terus mau bilang apa? Jadilah pilihan-pilihan yang terpaksa harus diambil karena tekanan semakin membesar. Harus membiasakan diri untuk tidur tanpa guling atau mengambil keputusan untuk pindah kerja ternyata tidak segampang itu.
Oleh sebab itu tumbuh berkembang adalah penting agar manusia bisa terus dinamis mengikuti atau menyesuaikan diri dengan dunia yang terus berubah. Tanpa perubahan, beban yang muncul tidak dapat dipindah, semakin membesar dan menekan. Maka banyak perubahan yang dilakukan bukan karena memang mau berubah secara natural, tapi dibuat karena tekanan yang semakin besar, menjadi beban, tidak nyaman dan terpaksa. Perubahan yang dilakukan secara terpaksa jelas tidak enak, apalagi mereka yang memaksakan diri untuk tetap berada di jalur yang sama. Kenyamanan bukan lagi jadi alasan sebab semakin susut dan mau tidak mau menerima situasi negatif yang harus dihadapi. Ini memberi tanda bahwa orang tidak bisa bergantung dan melekat kepada sebuah situasi, keadaan atau bahkan orang lain. Harus siap untuk bisa menerima dan melepas, Harus mampu juga untuk bisa beradaptasi.
Tentunya jadi pertanyaan besar, dengan demikian benarkah orang kemudian harus berani melepas kenyamanan? Benarkah kenyamanan hanyalah sesuatu yang bersifat semu? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan seperti itu sebenarnya mudah diafirmasi. Manusia sebanrnya tau bahwa perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Buat mereka yang sudah terlanjut nyaman, sadar atau tidak akan berusaha untuk tidak melepas kenyamanan itu. Apalagi standar yang digunakan adalah mengejar milik orang lain; kagak mau kalah, takut ketinggalan, ingin disamakan bahkan lebih. Semakin menyamakan diri dengan pencapaian pihak lain, maka obsesi dan rasa untuk terikat menjadi semakin kuat. Maka situasi seperti pandemi ada bagusnya; memaksa orang untuk berpikir ulang terhadap pilihan-pilihan hidup yang sebelumnya mungkin saja sudah terbayang tapi enggan untuk dilakukan.
"The pessimist complains about the wind; the optimist expects it to change; the realist adjusts the sails." ~William Arthur Ward
Bayangkan jika hal semacam itu justru terjadi pada mereka yang tidak menyangka sama sekali bahwa hidup bisa berubah dalam sekejap seperti membalik telapak tangan. Sudah pasti mengkerut atau menolak, apalagi jika kenyamanan sudah menjadi standar tolak ukur di dalam hidup. Ironisnya, mereka jugalah yang mengeluh dan berteriak paling keras jika kenyamanan 'dirampas' oleh hidup. Menyalahkan keadaan bahkan orang lain. Padahal kebingungan juga harus ngapain, sehingga keputusan-keputusan yang diambil kemudian adalah bersifat taktis, temporer bahkan hanya sekedar pengalihan agar kenyamanan itu tidak segera hilang. Cepat atau lambat, mereka yang tidak siap ini akan jadi gerbong terakhir yang hentakannya paling keras ketika ada perubahan besar yang terjadi.
Tapi janganlah kuatir, sebab hidup memang bicara soal kemampuan berpindah dari satu ketidaknyamanan menuju ketidaknyamanan lainnya kan? jadi kalo lagi enak, pewe, atau menikmati situasi ya anggaplah itu hanya bonus. Sebentar doang. Kalo lagi senang bahagia berbungah membuncah, itu bubble burst yang biasanya diikuti rasa anyep, hambar, kecut, getir sebelum berpindah pada kebahagiaan atau berpanjang pada kepahitan. Naik turun begitu cepat mirip roller coaster. Dibikin senang di awal, histeris dan mual kemudian. Masalahnya itu seumur hidup dengan tiket sekali jalan. Kalo hidup yang diingat hanya muntah doang, ya nggak bisa menikmati jungkir balik dong ya?