Kalo tetiba dihadapkan sebuah peluang, apakah lantas ada yang berani mengambilnya? Belum tentu. Banyak orang yang mikir-mikir meski sebenarnya nggak mikir. Artinya, hanya bisa membayangkan resiko tanpa pernah punya perencanaan. Ada juga yang langsung menolak, sebab fokus yang ada justru dihadapkan dengan apa yang ada sekarang. Ada juga yang langsung main sikat main embat. Mungkin prinsipnya "lebih baik sepuluh burung di pohon daripada satu di tangan. Macem-macemlah reaksi yang muncul.
Hanya saja, kenapa lebih banyak yang takut dan mikir-mikir? Jawabannya sederhana kok. Sebab tidak semua orang terbiasa dengan mengevaluasi resiko secara cepat. Ini adalah keahlian yang idealnya harus bisa dikuasai setiap orang. Hal yang paling mengerikan bagi semua manusia adalah segala sesuatu yang tidak bisa dikontrol atau diluar jangkauan mereka. Misalnya kegagalan akan menimbulkan rasa malu, bersalah hingga tidak bisa melihat apa yang di depan mata secara obyektif. Ketidakpastian menjadi momok yang mengerikan karena orang tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya, reaksi yang muncul atau tindakan apa lagi yang harus dilakukan.
Oleh karena itu langkah pertama yang harus dilakukan adalah membayangkan bagaimana kerugian yang didapat jika sebuah skenario dipilih dalam mengambil kesempatan. Untung sih sudah pasti kelihatan, bagaimana dengan rugi? Apakah kerugian itu sedikit, bersifat sementara, dapat dikompensasi? Semisal ada tawaran pekerjaan atau proyek dengan nilai besar tapi proses pengerjaannya bisa melelahkan, atau ambil yang bernilai sedikit tapi pengerjaannya bisa memuaskan hati. Pilih yang mana? Rugi atau loss tentu saja tidak dihitung berdasarkan nilai material atau nominal saja, tapi juga faktor-faktor yang bersifat intangible atau tak terlihat seperti semangat kerja tim, prosedur yang dijalankan hingga kerjasama dengan klien yang menyenangkan. Dengan demikian identifikasi terhadap aspek positif dan negatif menjadi penting untuk dilakukan. Umumnya orang akan memilih mengambil peluang jika aspek positifnya lebih banyak, tapi ada juga yang mengukur jangka panjang jika aspek negatifnya banyak dan bisa diantisipasi di depan serta aspek positifnya akan membuncah kemudian ya kenapa nggak diambil?
Kedua, mempersiapkan skenario terburuk. Biasanya orang hanya punya satu dua rencana yang ketika berakhir jelek maka ia nggak tau harus gimana lagi. Dengan mempersiapkan skenario terburuk, ini dimaksudkan agar kegagalan bukanlah sebuah kejutan. Kegagalan sudah diperhitungkan. Maka di dalam skenario tersebut, kegagalan harus mampu menjadi sebuah pembelajaran penting dan diubah menjadi langkah atau alternatif baru menuju keberhasilan. Tidaklah heran jika orang takut gagal. Sebab gagal sering menjadi konotasi pintu terakhir, kartu mati atau bubar jalan. Dengan kegagalan, hikmah yang bisa langsung diambil adalah sejauh mana orang bisa tahan dan melewatinya. Jadi harusnya senang kalo gagal sebab endurance atau daya tahan seseorang bisa diukur disitu. Semakin sering gagal, maka daya tahan harusnya menjadi semakin kuat dan ketika berhasil ya nggak kaget. Nggak percaya? Lihat saja orang-orang yang mulai bekerja di perusahaan kecil yang jatuh bangun. Ketika mereka masuk di perusahaan besar, tentunya sudah punya daya tahan untuk memulai proses, memahami politik kantor, menghadapi customer dan sebagainya. Beda bangetlah apalagi dengan orang yang mengambil kerja lepas hanya semata ingin menghindari resiko konflik.
"Some learning opportunities come only once, and if you miss that one chance, you may not be able to have the same opportunity again even if you change your mind later on." ~Janet Fuller
Ketiga, dengan skenario terburuk maka akan lebih mudah untuk mencari alternatif dan tindakan. Peluang bisa diambil dengan segera. Lantas bagaimana jika lebih dari satu peluang? Konsep minus malum atau memilih mana yang keburukannya terkecil bisa dilakukan. Atau balik lagi, meski resikonya kelihatan besar apakah mampu untuk ditanggung, diselesaikan dan lebih kecil dibandingkan keuntungannya kelak? Maka terlihat di dalam pengambilan keputusan tersebut, waktu adalah yang paling diperhitungkan. Kecepatan adalah nomor satu. Harus bisa sat set sat set terus jadi, ketimbang a u a u kebanyakan mikir. Untung sudah pasti, rugi bisa dihitung. Kalo masih takut-takut ya belajarlah buat nekad. Istilah orang sono, burning the bridge biar nggak bisa balik mundur lagi. Entah ada apa di depan, mau naga kek, beruang kutub kek, ya nekad aja. Masih nggak berani nekad? Ya pantes itu jembatan selama ini cuma dijadiin tongkrongan doang.