Kerja kolektif itu sering meyebalkan. Persis seperti mahasiswa bikin tugas kelompok. Ada yang capek mikir, ada yang tugasnya ngetik, tapi ada juga yang cuma sumbang beliin gorengan pake duit temen-temennya, ada juga yang baru nongol belakangan cengar-cengir dan minta namanya masuk di dalam daftar tim. Kerja? nggak juga. Lebih sering ngajak becanda sekaligus membuat fokus menjadi semakin buyar. Apalagi kalo ada gebetannya di situ. Bakal tambah nggak karuan. Meski demikian, giliran presentasi maka bisa jadi dia yang diandalkan. Sebab merasa paling populer di kelas sehingga bakal dapat perhatian. Padahal sih biasa banget. Dengan modal kepedean dan kegeeran yang hakiki, tapi mendadak mutung begitu cuma dapat nilai kelompok C+.
Fenomena semacam itu sih wajar, sudah biasa dan sering terjadi. Hanya saja yang tidak disadari adalah di dalam kerja kolektif akan selalu ada orang-prang semacam itu. Minimalis di dalam usaha, tapi nggak mau diatur. Kontribusi paling sedikit, tapi mau terima banyak. Ogah capek keringetan, tapi pengen paling dikenal punya jasa. Terlebih jika kerja kolektif semacam itu hanya mengandalkan ikatan renggang demi kepentingan sesaat. Macem mahasiswa bikin tugas kelompok. Cuma buat ngejar nilai. Jadi ya sudah, tau sama tau aja toh cuma sementara.
Mereka yang bekerjasama, pastinya mengeluarkan kapasitas personal masing-masing agar bisa selaras. Itu syarat mutlak. ~FRS
Lantas bagaimana jika sekelompok orang secara bersama mengikatkan diri di dalam tujuan yang lebih panjang? Semisal organisasi atau kelompok profesional? Jelas tidak akan sama. Mau tidak mau, tidak akan ada upaya yang cuma sebatas sukarela, hanya memiliki intensitas rendah, sekedar jalan, sering lempar tanggung jawab, atau cuma dipancing pake receh supaya mau bergerak. Terlebih jika ada tuntutan profesional untuk menambah portofolio, mengikuti tender, atau juga proses administrasi bahkan birokrasi yang ketat. Maka sudah dipastikan bahwa aktivitas semacam itu yang sekedar mengandalkan entar besok atau lu aja gue sibuk, ya nggak bakal berjalan dengan baik.
Selain itu, kerja kolekif yang dipahami tidak dilakukan secara ketat tapi punya target tinggi hanyalah kegiatan yang buang energi. Semua sibuk beradu pikir dan konsep, tapi sedikit yang mampu mengeksekusi. Semua punya mimpi mengawang tapi nggak paham mau mulai dari mana. Di dalam kerja profesional semisal pembentukan badan usaha, atau kerja yang bertujuan menyelaraskan kemampuan bersama agar ada hasil maka tidak ada kompromi. Terlebih bila di jaman sekarang, tuntutan kolaborasi jadi sering digunakan. Mereka yang bekerjasama, pastinya mengeluarkan kapasitas personal masing-masing agar bisa selaras. Itu syarat mutlak. Bayangkan jika sudah cuma bisa mimpi, nggak punya skill, begitu bergabung hanya bisa berwacana pake nalar wajar. Begitu dicecar secara rinci, ngeles nggak bisa jawab. Bukankah itu memalukan?
Jadi di dalam kerja kolektif, semua orang idealnya menyadari peran masing-masing. Mungkin memang tidak ada yang sempurna. Ada yang bisa mengerjakan apa saja, ada yang bisa sebagian, ada juga yang emang nggak bisa apa-apa. Di dalam kerja profesional, hambatan semacam itu sudah dieliminasi terlebih dahulu dalam proses yang ketat. Lantas bagaimana jika tidak? Sudah menjadi resiko yang mau tidak mau harus dihitung secara proporsional bukan saja karena penilaian tetapi juga kembali lagi kepada kesadaran yang bersangkutan. Maka peran leader atau follower juga menjadi sama pentingnya. Hirarki menjadi sebuah kebutuhan. Ada posisi yang harus dijalankan dengan tidak berimbang agar pengorganisasian bisa berjalan.
Menjadi sulit jika kerja kolektif semacam itu berisi orang-orang setipe yang sebenarnya tidak menyadari target yang lebih luas dibandingkan cuma sekedar berkumpul. Ibaratnya, organisasi hanya berisi jendral semua. Merasa punya konsep, merasa bisa membawa ke arah yang lebih baik, merasa bisa mengelola hingga ke hal administrasi dan teknis, tapi nggak paham gimana caranya. Tidak ada yang mau dan bisa jadi sersan atau kopral untuk mengeksekusi tujuan. Jika dilihat lebih detail, sebenarnya pun juga bukan jendral. Tapi kolonel mau pengsiun. Merasa berpengalaman bisa ini itu kenal anu ono tapi ya nggak kemana-mana juga.
Akibatnya kinerja organisasi menjadi jalan di tempat. Hanya sibuk mengurusi apa yang sudah dianggap familiar, enggan memiliki target realitis lantaran mimpinya sudah segudang, tapi malas keluar dari ekosistem yang sudah ada karena terlanjur nyaman. paling banter ya antar kolonel itu cuma berisik aja. Persis seperti rombongan kafilah yang berputar-putar arah di tengah badai pasir tanpa tau harus kemana. Sebab semua pengendara di dalam rombongan itu merasa sudah punya solusi jitu di dalam benak masing-masing.
Itulah sebabnya lebih enak jadi anjing. Begitu kafilah mengonggong ribut kegirangan memegang awan, atau berteriak putus asa nggak nemu jalan maka si anjing bisa dengan cuek melenggang jalan. Ngapain juga ngabisin waktu bersama rombongan yang bermimpi besar tapi eksekusi minimal? Demikian si kirik membatin. Lebih baik nyelonong sendiri, tau-tau dah sampe. Asyik kan? Dasar asu.