Setalah pandemi mereda saat ini, banyak orang yang merasa harus bisa menyesuaikan diri kembali dengan situasi yang ada. Dulu tidak ada yang merasa nyaman dengan kerja dari rumah. Dipikirnya Work From Home itu santai, masih bisa ditinggal main sepeda sebentar. Lama-kelamaan orang menyesuaikan diri. WFH ternyata tidak gampang. Harus bisa multi tasking dengan pekerjaan domestik, atau sekurangnya membiarkan diri terganggu dengan aktivitas anggota keluarga yang lain. Setelah orang sudah mulai menyesuaikan diri, eh lama-lama ternyata WFH enak juga. Jadi males untuk keluar rumah. Kalo nggak butuh atau perlu amat, males buat nutup layar komputer. Biaya perjalanan atau duit bensin bisa dialihkan untuk berlangganan internet atau paketan data.
Konsekuensinya, sekarang ketika disuruh masuk kantor atau bahkan pekerjaan yang berhadapan dengan pelayanan baik konsumen atau publik kok rasanya berat? Kini harus kembali lagi membiasakan diri ketemu orang dengan segala resiko. Emang sih wabah mulai mereda, tapi malesnya jadi nambah. Betapa tidak, ritme pelayanan yang dulu dikejar untuk bisa mencapai tingkat kepuasan tertentu malah jadi melorot dan harus meredefinisi standar yang ada. Dulu sebelum Sikopid, orang bisa antri dan pelayanan harus mampu menyamakan standar. Pas wabah mengamuk, semua tiarap. Kini ketika orang mulai kembali beraktivitas offline, tidak ada yang siap dengan standar yang dulu pernah diterapkan.
Kejutan-kejutan semacam itu tentu saja wajar karena situasinya memang selalu berubah. Akan tetapi tidak semua orang mampu mengikuti shifting yang begitu cepat, keras dan memukul. Begitu sudah Work From Office atau WFO, ada semacam jeda psikis berupa ketidaksiapan untuk berhadapan dengan banyak orang secara langsung. Anggaplah memang tidak atau belum begitu banyak antrian, namun pelayanan terasa begitu lama karena orang tidak mampu menemukan pola atau formula yang sama seperti dahulu. Bahkan mereka yang dianggap sudah lama berkutat secara profesional sekalipun, tidak terlepas dari situasi semacam itu. Lesunya pelayanan dapat dilihat terutama di pusat perbelanjaan atau aktivitas ekonomi yang dulu dikenal sangat ramai dan sibuk. Di banyak tempat seperti itu, ritme pelayanan sudah berjalan melambat, pengunjung tidak kembali berdatangan seperti dulu, bahkan transaksi jauh lebih menurun.
Apakah hal semacam itu disebabkan oleh pandemi? Tidak juga. Sejak lima tahun terakhir pola bisnis yang berkaitan dengan retail dan pelayanan konsumen memang sudah perlahan beralih rupa. Selain model yang lebih banyak mengandalkan bentuk online, rupa pembayaran juga lebih banyak menggunakan mobile banking ketimbang kartu debit atau uang tunai. Peralihan dari tenaga mesin ke manusia juga sudah mulai akrab dalam aktivitas transaksi. Akan tetapi pesimisme juga masih ada karena semua fenomena itu dianggap menjadi ancaman nyata dalam pola bisnis selanjutnya. Tidak akan ada banyak tenaga manusia yang digunakan, padahal populasi pencari kerja semakin meningkat. Mereka yang bertahan tentunya harus pandai-pandai menjual jasa dan ketrampilan yang dimiliki. Terlebih sekarang popularitas penggunaan tenaga kontraktual atau istilahnya outsourcing juga semakin marak dilakukan bahkan dalam level birokrasi pemerintahan.
Lantas apakah yang kemudian masih tersisa, harus mampu menjadi optimal dalam melakukan fungsi dan tugasnya? Sudah pasti. Mentalitas semacam memperlambat pelayanan, terlalu santai, bingung dengan prosedur, menganggap enteng sudah pasti harus ditinggalkan. bahkan seharusnya sejak dulu. Sekarang malah jadi memburuk karena faktor-faktor yang menjadi ancaman seperti di atas. Jika dulu maunya mempermudah jadi semacam tujuan. Sekarang, kalo bisa sulit ya ngapain dipermudah. Biar ada kerjaan aja selagi tidak banyak yang bisa dilakukan? Entah. Padahal dengan adanya shifting yang semakin menggila tadi, tentu akan semakin membuat pola bisnis bertambah rentan. Jika mereka yang menjadi pelaku saja belum tentu siap, apalagi orang yang selama ini hanya menonton. Baru mau beringsut setelah pekerjaan atau aktivitas yang selama ini disadari tidak begitu banyak memberi harapan apalagi cuan.
"Most people spend more time and energy going around problems than in trying to solve them." ~Henry Ford, Founder Ford Motor Company
Oleh karena itu, dalam posisi seperti apapun idealnya orang tidak melepas diri dari benchmark yang pernah dibuat. Kalo dulu pernah bercita-cita mencapai 10 dan sudah mencapai 8, maka jangan pernah menganggap sekarang dapet 6 saja sudah bagus. Itu pun pake nyalahin wabah, nyalahin onlan onlen, nyalahin kompetitor, nyalahin regulasi, nyalahin anak buah. Ketika jaman sudah berubah sedemikian cepat terutama dalam perkembangan teknologi, pilihan yang bisa dilakukan adalah memeluk dan menggunakannya secara efisien. Jadi gagasan untuk tetap WFH atau sekurangnya hybrid dengan kombinasi kerja dari rumah dan kantor adalah sesuatu yang efisien. Jika sepenuhnya kembali ke kantor, tentu saja itu adalah upaya yang agak redundant. Kembali lagi kepada jaman masih normal dengan segala kepenatan dan kemacetan. Padahal terakhir digembar-gembor soal New Normal. Udah lupa?
Jadi bersyukurlah yang masih bisa punya pilihan untuk bekerja dari manapun alias Work From Anywhere. Tidak terbatas harus ngantor, harus kembali kepada kehidupan sebelum 2019 BC (Before Corona). Setidaknya nggak bikin susah hidup diri sendiri atau orang lain. Atau di jaman selepas pandemi dan menjelang resesi ekonomi begini, masih punya kerjaan lah yang pantas untuk menghasilkan sesuatu dan jadi produktif. Jangan hanya ngedumel menganggap ini semua kesialan. Padahal sudah jelas hasil pilihan. Sikap semacam demikian tentu saja akan membuat pencapaian selanjutnya bakal lebih rumit lagi. Padahal antrian semakin panjang. Usia sudah tidak lagi muda. Bikin malu aja jadinya.