Belum lama ini ada obrolan dengan orangtua yang anaknya sedang menjalin hubungan alias pacaran. Sebagai sebuah proses wajar yang setidaknya dialami hampir semua orang, maka orangtua sudah pasti akan menimbang-nimbang meski dilakukan dari kejauhan. Artinya, proses tersebut diamati secara tidak langsung, terlebih di era semacam ini ada banyak kebebasan bagi si anak untuk bisa memutuskan. Meski demikian, pertimbangan orangtua masih tetap bersifat klasik yakni melihat bibit, bobot dan bebet.
Secara umum istilah itu mengacu kepada tiga hal. Pertama, bibit bermakna latar belakang keturunan pasangan, dalam hal ini adalah orangtua dan keluarganya. Kedua, bebet berkaitan kemampuan ekonomis calon pasangan, yang bermakna soal pekerjaan atau dukungan finansial yang dimiliki. Ketiga adalah bobot yakni kualitas diri calon pasangan yang dilihat dari sisi pendidikan, kepribadian, karakter dan pencapaian personal lainnya. Tentu saja ketiga kondisi tersebut menjadi penting bagi orangtua terutama di Indonesia. Kenapa gitu? Sebab jangankan pacaran, relasi yang dianggap bakal jauh lebih serius adalah bukan lagi semata perkara dua orang, tetapi bisa jadi urusan dua keluarga besar. Iya kalo mulus-mulus aja nggak ada masalah. Nah, gimana kalo kemudian ada ganjalan yang berunjung kepada konflik? Sejauh mana hal itu bisa diatasi? Repot pastinya.
Meski demikian akan ada penafsiran baru yang kemudian berkembang sejalan dengan perubahan jaman. Ketiga kondisi di atas sudah pasti juga mengalami pergeseran makna meski masih tetap dalam pemahaman yang sama. Misalnya saja soal bibit bukan lagi dipahami bahwa yang bersangkutan berasal dari keturunan darah biru, orang berpangkat atau pejabat. Bibit dalam konteks modern adalah keluarga baik-baik, tidak tersangkut tindak kriminal, punya reputasi baik dan dikenal tiada tercela. Sebab mau darah biru kek, nggak jaminan juga untuk tidak jadi kriminal. Pangkat dan jabatan juga bisa anyep ditelan waktu. Iya pas berkuasa, nah kalo dah pengsiun mau bilang apa. Jadi cara yang sering dianggap mudah adalah menghubungkan sebuah keluarga dengan indikator religius seperti kesalehan. Ini pun juga bukan jaminan, sebab kesalehan di masa sekarang berkaitan dengan reputasi. Karakter? belum tentu.
Demikian halnya dengan bebet atau kemampuan personal yang nilainya juga tidak permanen. Ada saatnya orang baru memulai sesuatu, berada di puncak kejayaan atau malah tengah mengalami kebangkrutan. Itu adalah fase wajar yang dialami hampir semua orang. Maka ketika muda dan baru memulai, tidaklah elok dicela. Tidak akan ada yang tau kelak jadi apa. Maka amat disayangkan jika penilaian yang hanya mengandalkan bebet, padahal sifatnya tidak tetap. Amat disayangkan juga jika mengejar atau menginginkan seseorang hanya memperhitungkan kepemilikan, karena hal itu tidak permanen. Itu juga sebabnya ketika dua orang sepakat menjalani hubungan secara serius, ada faktor kejujuran dan keterbukaan menyangkut pengelolaan dan juga memulai sesuatu yang baru. Mereka yang menekankan bebet secara berlebihan, biasanya akan kecewa. Di satu sisi akan ada yang tidak sesuai dengan ekspektasi, sementara di sisi lain jadi cenderung menindas karena merasa memiliki lebih dibandingkan pasangannya.
“To say that one waits a lifetime for his soulmate to come around is a paradox. People eventually get sick of waiting, take a chance on someone, and by the art of commitment become soulmates, which takes a lifetime to perfect.” ~ Criss Jami, Venus in Arms
Oleh karena itu, satu-satunya yang dapat menjadi modal personal adalah soal bobot. Pinggirkan dulu soal bibit dan bebet, karena bobot adalah cerminan individual. Bagaimana seseorang mengambil keputusan di dalam hidupnya secara pribadi, memilih jalan yang akan ditempuh berdasarkan pendidikan, pengalaman dan juga karakter adalah penting. Itulah sebabnya bobot sebagai modal personal memainkan peranan untuk mengisi bebet dan sekaligus menunjukkan bibit macam apa yang dimiliki. Pengambilan keputusan adalah titik awal seseorang menunjukkan bobotnya di dalam hidup. Itu adalah kecerdasan yang esensial sebelum bicara hal lain seperti tingkat pendidikan atau pengalaman lain yang menjadi rujukan. Akan tetapi hal semacam itu bisa saja luput dari pandangan. Kok bisa? Namanya cinta lagi-lagi kerap menjauhkan akal dari hati. Kalo udah demen, jangankan tai kucing jadi berasa coklat; nempel melekat di jidat pun bodo amat meski sudah bikin orang lain memandang tercekat.
Jadi percuma ngaku cerdas jika pengambilan keputusan hingga pemahaman soal bibit bobot bebet tadi masih belum dimaknai secara mendalam. Sudah pasti resiko yang dihadapi adalah salah pirit kartu. Dipikir kartu as, ternyata dua wajik malah. Dipikir kyu ternyata balak enam. Maka bagi mereka yang pacaran, sebenarnya itu adalah peluang melakukan evaluasi agar tidak beli kucing dalam karung. Idealnya sih begitu. Biar nggak dapet orang yang di masa awal promonya berlebihan, nggak taunya cuma marketing gimmick. Mencitrakan diri sebagai sosok yang keren cerdas nan bijak, tapi ternyata pemalas, memble, nggak produktif, dikit-dikit ngambeg, maen gampar, gede mulut, bau badan, pecicilan dan tetap aja nggak berduit. Jadi dengan pilihan personal yang keliru, sudah pasti akan ada sederet masalah yang pada awalnya mau dihindari sebagaimana orangtua memikirkan bibit, bebet dan bobot. Tapi mau gimana lagi? Namanya juga berasa coklat kan. Toh kalo jodoh memang nggak kemana. Mau dua wajik atau balak enam, tetap harus dimainkan sebab nggak ada kocok ulang. Ini soal pilihan, jadi bukan nasib melainkan kelasnya yang demikian. Selamat mencoba.