Seorang motivator ternama, Zig Ziglar pernah mengatakan bahwa orang kaya memiliki perpustakaan besar dan televisi berukuran kecil. Sebaliknya, orang miskin punya televisi besar dan perpustakaan kecil. Pendapat itu tidak sepenuhnya keliru, jika melihatnya dari perspektif mental dan bukan semata kepemilikan. Orang kaya mampu membeli televisi besar, tapi analogi yang digunakan adalah perpustakaan besar dalam arti ruang yang cukup luas untuk menampung hasratnya akan pengetahuan. Dengan pengetahuan maka orang bisa menjadi lebih kaya. Televisi besar yang dimiliki orang miskin, adalah obsesinya terhadap kepemilikan dan hiburan. Apalagi televisi kini isinya nggak lebih dari iklan, gosip dan sinetron. Untuk memantau berita malah cukup dari media daring. Perpustakaan sebagai sumber pengetahuan, dianggap tidak penting ketimbang hiburan.
Pernyata seperti itu tentu saja memicu rasa penasaran. Hingga saat ini fungsi televisi yang sudah berubah dari analog menjadi digital adalah hiburan penting di rumah. Jika dulu ada satu televisi di ruang tengah atau ruang keluarga kelas menengah sebagai simbol prestise dan komunal, maka di jaman sekarang televisi sudah ada di ruang tidur masing-masing. Interaksi yang tadinya ada di ruang tengah atau keluarga sudah jauh berkurang. Aktivitas lebih banyak sendiri-sendiri. Televisi memanjakan daya tarik visual. Ini berbanding lurus juga dengan minat baca yang selalu rendah. Apalagi media cetak macam koran dan buku sudah memasuki masa surut. Generasi termuda lebih senang main game dan buka ponsel ketimbang buka buku.
Ada yang mengatakan bahwa itu hanya perubahan format dari bentuk analog ke digital. Akan tetapi itu juga tidak sepenuhnya benar. Dampak dari pemanjaan secara visual adalah generalisasi informasi dan kedangkalan analisis. Orang cenderung menerima begitu saja apa yang terlihat oleh mata, tanpa mempertanyakan lagi nilai kebenaran dibaliknya. Selain itu, orang juga kerap terjebak kepada hal-hal yang bersifat partikular dan non strategis seperti gagasan hitam putih, boleh nggak boleh dan sejenisnya. Tidak ada daya nalar kritis dan kreatif untuk memecahkan masalah karena semua jawaban sudah tersedia entah di Google atau Youtube. Kalo mau copas ya pake Wikipedia. Sesederhana itu.
Efeknya sudah jelas. Orang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Orang menjadi kaya bukan karena penguasaan properti, melainkan kontrol dan dominasi terhadap akses. Banyak informasi, pengetahuan dan modalitas lain yang tentu saja tidak diraih melalui media sosial. Baginya, media sosial adalah sampah dan hanya diperlukan untuk sekedar unjuk eksistensi secara terbatas. Itu pun nggak banyak yang ditampilkan. Sebaliknya orang yang bermental miskin akan sangat menggantungkan diri pada media sosial untuk memberi kesan bahwa dia kaya. Entah flexing atau doxing adalah dinamika semua yang terjadi dan bisa dikatakan itu semua adalah settingan.
"You only become rich through the things you don't desire." ~Mahatma Gandhi
Orang kaya menjadi tambah pintar karena akses yang diberdayakan itu kemudian bisa membuatnya memperluas jejaring secara kongkret. Eksplorasi bisa dilakukan secara intensif kepada segala lapisan dan sudah pasti ada learning yang didapat. Orang miskin makin menghibur diri, melepas dari kepenatan dengan segala hiburan. Jadi di jaman sekarang mereka yang kaya identik dengan maksimalisasi hidup, memprioritaskan kesehatan dan juga semangat untuk maju. Orang miskin terjebak ke dalam hidup yang semakin tidak nyaman dan sehat, rentan segala hal dan jadi penonton.
Nah, jadi besok mau beli televisi yang mana?