Akhir-akhir ini banyak orang tertipu oleh drama rumah tangga di media massa dan juga media sosial. Sibuk beropini pro dan kontra, dukung mendukung, bahkan menganalisis kelewat dalam sedangkan yang dibicarakan mungkin cuma sibuk sampe menganal doang. Publik lupa bahwa di jaman sekarang, apapun yang menjadi konsumsi umum juga tidak terlepas dari banyak kepentingan. Lihat saja kasus kekerasan dalam rumah tangga artis nganu ngono. Begitu naik, kontan yang melejit adalah soal adsense, rating dan sebagainya. Padahal bisa jadi memang artis nganu ngono emang lagi butuh untuk popularitas, terlepas dari si lelaki kasar dan si perempuan tolol. Urusan kekerasan juga jadi kepentingan orang lain untuk berkomentar. Pengacara jadi naik daun, nama saksi jadi diperhatikan, serta siapapun yang masuk dalam pusaran itu juga turut kecipratan. Perolehan popularitas semacam itu tidak butuh kecerdasan ekstra. Asal berani tampil, berani mau, itu sudah cukup. Beberapa pihak sudah pasti diuntungkan termasuk tipi yang jadi kebanjiran ide untuk memproduksi program kekonyolan berikutnya. Tapi siapa yang dirugikan? Banyak.
Pertama, mereka jelas mencederai upaya orang-orang yang menjadi korban dalam kekerasan rumah tangga. Ini perkara nggak gampang di tengah kultur yang kerap merendahkan dan memposisikan perempuan sebagai sosok lemah bucin yang nggak bisa lepas dari cengkeraman kekerasan. Terlebih banyak pula yang ujungnya menganggap itu hal yang biasa di dalam rumah tangga. Padahal bisa jadi masalahnya memang serius. Saking seriusnya, nggak tau lagi harus berbuat apa. Menerima itu sebagai sebuah kewajiban. Kalo perempuan juga harus setara dengan lelaki, maka mereka juga harus mempersiapkan diri untuk bisa bernegosiasi soal posisi politik kan? Masa posisi missionary style atau 69 doang. Dengan kata lain, urusan rumah tangga bukan soal seks melulu. Ada soal tanggung jawab, budgeting, soal peran, blom lagi rempong dengan keluarga besar dan lainnya. Baik lelaki atau perempuan yang menjadi korban kekerasan tidak mampu bersuara dan ujungnya hanya bisa pasrah. Kekerasan itu bukan pula semata lempar bola biji, main pukul atau ngebacot kasar. Mendiamkan secara terus menerus, memposisikan pasangan sebagai makhluk yang nggak tau diuntung, atau bersikap pasif agresif dengan kata terserah itu juga merupakan kekerasan tersendiri.
“Men can’t be victims of domestic violence...tell the world Johnny, tell them… I Johnny Depp, a man, I’m a victim too of domestic violence… and see how many people believe or side with you.”~ Amber Heard
Kedua, mereka jelas sebagaimana orang plus enam dua umumnya memperlakukan kekerasan sebagai sebuah kewajaran bahkan marketing gimmick. Ini emang beneran tolol sih. Terlepas dari keduanya bukan orang terdidik, tapi pasangan artis nganu ngono itu berhasil menanamkan ke setiap benak pemirsah di rumah atau pemelotot konten media sosial bahwa itu semua adalah hal yang wajar. Orang atau institusi lain macem erte erwe hingga kepolisian jadi sibuk kena prank, tapi itulah pertunjukan satu babak. Masih akan ada skenario lain yang bisa spontan atau disiapkan dengan tujuan yang sama. Lama-lama publik akan berpikir, oleh karena itu adalah kewajaran maka kekerasan menjadi hal yang wajar di dalam rumah tangga. Perkara mau dikaitan dengan rendahnya literasi atau pembenaran kultural soal etnis yang terbiasa main tangan, lama-lama kekerasan di dalam rumah tangga bisa meluas dan mendalam. Meluas dalam arti masuk dalam pola pengajaran dan berlaku umum di rumah. Mau siapapun bakal biasa kena gebuk lempar sendal atau diteriakin. Mendalam dalam arti menjadi nilai yang akan dibiasakan dan diekspor dalam perilaku di luar rumah. Ngadepin orang maen hajar, atau minimal bergunjing di belakang. Sebab pelaku kekerasan amat jarang berani menampakkan batang hidungnya secara langsung dan mampu bernegosiasi secara sehat. Dikit-dikit undah esmosi maen hajar duluan kan?
Kedua poin di atas menunjukkan bahwa pengaruh dunia hiburan secara sosial juga cukup tinggi. Mungkin banyak menyangka bahwa para esjewe akan kecewa duluan. Bisa jadi sih, tapi percuma juga. Sebab aktipis umumnya sudah terperangkap pada pola pikir bahwa ini persoalan perempuan, lelaki selalu jadi pelaku, bahkan intervensi harus masuk ke dalam karakter dalam rumah tangga. Itu sih offside dan bola biji melesat keluar. Dengan contoh di atas maka terbukti bahwa urusan kekerasan dalam rumah tangga bukan soal semata kasar dan tolol, bukan pula lelaki dan perempuan. Lebih dari itu, kekerasan rumah tangga adalah hasil produksi dan narasi yang sengaja dipiara. Apalagi ini hubungannya dengan pertunjukan. Miris emang. Oleh karena siapapun bisa jadi pelaku dan korban, maka segala tontonan dan pelototan melalui media massa dan media sosial sudah pasti jadi racun yang nggak bermanfaat. Alih-alih menyadari bahwa itu semua cuma panggung, orang sibuk beropini berkomentar sibuk jadi fans sampe berantem. Padahal mending lu buka Onlyfans aja kan? Beneran cari bahan colian ketimbang ghibah.