Suka atau tidak, banyak orang tidak peduli dengan apa yang terjadi disekitarnya selama tidak berpengaruh langsung kepada diri mereka. Mau ada bencana kek, bunuh-bunuhan kek, kelaperan kek, selama nggak mengalami dan tidak berdampak maka hal kayak gitu tidak pernah berlama-lama ada di dalam benak. Paling sedikit simpati, jadi bahan omongan, atau merenung sebentar. Habis itu lupa lagi. Persis kayak orang belajat tobat tapi besok tetap kumat. Dampak apapun, entah positif atau negatif sama saja. Kalo tidak terkena langsung, tidak akan lama terpikirkan.
Orang justru baru merenung, menyelami, menghayati ketika ada sebuah peristiwa yang langsung berkaitan atau terjadi terhadap mereka. Terlebih jika itu sesuatu yang menyakitkan. Nggak usah mikir dulu soal kematian. Soal kehilangan apapun atau mengalami tekanan yang luar biasa justru akan mampu mendesak dan mendorong orang bukan saja berpikir tapi kemungkinan berubah secara drastis. Itulah nilai kebenaran yang terjadi. Sebuah kebenaran belum tentu enak atau nyaman. Bisa jadi pahit dan bikin pedih. Tau-tau bisa jadi trauma. Misalnya saja pengalaman bullying sewaktu bocah. Entah oleh teman sebaya, saudara atau anggota keluarga. Nggak bisa ngomong apa-apa. Cuma dijalani aja setiap hari. Sampai ketika dewasa, orang yang jadi korban bully tersebut akan mengekspresikan rasa kecewa, pahit dan pedihnya kepada orang lain. Lebih parah lagi jika terjadi pelecehan atau perkosaan. Mereka yang ada di sekitarnya kemudian hanya bisa berempati. Nggak lebih dari itu. Sebab mereka tidak mengalami dan tidak terpengaruh secara langsung.
Jadi nilai kebenaran semacam itulah yang disangkal karena menyakitkan. Sudah cukup? Belum. Kalau pun masa muda menyenangkan, belum tentu juga terlepas dari exposure atau pajanan seperti bagaimana melihat kehidupan orang lain. Secara alamiah orang kan cenderung membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain. Mulai dari jalan hidup, pencapaian, keberhasilan atau kesuksesan. Jika yang dibandingkan lebih rendah, maka itu jadi ajang kesempatan untuk bersyukur. Merasa lebih baik, lebih pintar, lebih enak atau bahkan lebih beruntung. Mematut diri di depan cermin seolah sudah mendapat anugrah lebih banyak. Tapi bagaimana kalo yang dibandingkan lebih tinggi? Jika termotivasi secara positif ya sudah apsti akan terpicu untuk bisa menyamakan atau mengungguli. Tapi berapa banyak yang bisa begitu? Kalo nggak berdecak kagum, malah nyinyir sampe baper sendiri.
Pada titik itulah orang kembali menyangkal nilai kebenaran yang ada di depan mata. Sudah tau itu lebih bagus, lebih keren, lebih oke, lebih berkualitas ketimbang diri sendiri. Lantas mau apa? Terlebih jika apa yang dilihat itu adalah bentuk material yang kemudian diberi definisi soal keberhasilan atau kesuksesan. Rumah bagus, mobil mewah, apapun yang dilihat mahal dan berkelas. Buat mereka yang kecewa dan balik badan paling banter ngedumel menggerutu kalo itu semua adalah hasil korupsi, unfaedah, terlalu berlebihan, dan balik lagi menganggap orang itu tidak bersyukur; cenderung foya-foya dan boros. padahal foya-foya dan borosnya mereka bisa jadi tetap tidak seberapa untuk imajinasi orang yang sirik. Tapi buat mereka yang baper karena merasa kepantasan itu harusnya ada pada diri sendiri, akan cenderung untuk melakukan hal yang sama. Tidak ada satu pun yang kemudian melihat itu jadi ajang kontestasi secara sehat. Kalo pun mau bersaing, tidak lebih dari sekedar meniru atau mengekor dari belakang. Hanya bisa segitu.
Kemudian hal itu berujung pula pada pembahasan soal kepantasan. Siapa yang merasa lebih berhak mendapatkan tetapi pada prakteknya memang tidak menciptakan habitat yang mendukung, intensitas yang cukup tinggi dan tujuan yang pasti. Mau kaya atau sukses cuma ngemeng doang, atau paling banter ambil jalan pintas. Kepantasan kemudian menjadi sebuah nilai yang memandang perbedaan antar usia, generasi, gender, etnis bahkan rasial. "Lu anak kecil tau apa", "Dia nggak cocok karena sudah tua", "Perempuan kok gitu" adalah ungkapan soal kepantasan yang merupakan selubung ketidakmampuan sesungguhnya menghadapi persaingan nyata.
"The human ego is the ugliest part of man. We lift up men who only show us darkness, and put down those brave enough to show us the light. Likewise, people engage in darkness when it is light outside, and acknowledge the light only when it is dark." ~Suzy Kassem, Rise Up and Salute the Sun
Dengan kata lain, nilai kebenaran yang disangkal adalah selalu berpusat kepada ego. Latar trauma yang mendalam, hidup yang tidak sehat, pandangan yang selalu nanar melihat keberhasilan orang lain, akan membentuk karakter keras berujung kepada kekerasan. Kekerasan memang bukan jawaban terhadap permasalahan hidup, tapi seringkali digunakan sebagai solusi. Keras terhadap diri sendiri memaksa untuk megambil jarak bahkan memusuhi orang lain, atau keras dengan memaksa secara fisik, membully dan menyiksa orang lain. Itu lingkaran setan yang nggak ada habisnya. lantas nilai kebenaran macam apa yang dirangkul dan dipercaya jika seandainya itu semua tidak membuat diri lebih baik? Coba tanyakan pada diri sendiri.