Sebenarnya, rasa cemas atau anxiety adalah hal yang lumrah terjadi pada diri manusia. Skala, intensitas dan ketegangannya jelas berbeda-beda. Cemas adalah bentuk pikiran terhadap segala kemungkinan yang terjadi dan belum diketahui. Cemas, beda dengan takut. Rasa takut ada obyek tertentu yang bisa dijadikan sasaran. Takut dengan binatang buas, atau taku jatuh. Cemas justru tidak punya obyek tertentu. Cemas kalo besok nggak bisa makan, cemas gimana caranya bayar tagihan dan sebagainya. Perkara apakah benar besok bisa makan dan bisa bayar tagihan itu jadi soal kedua. Sebab kecemasan seringkali membuat orang menjadi berpikir terlalu jauh alias overthinking. Kepala penuh dengan skenario macam-macam yang belum tentu juga terjadi. Apalagi jika skenario nggak nggak cuma satu, melainkan banyak. "Jangan-jangan begini begitu", adalah kecemasan yang muncul dan berakibat buruk pula kepada tubuh. Mulai dari nggak bisa tidur, sesak nafas, tersengal-sengal, bad mood dan seterusnya. Bayangkan jika rasa cemas muncul bukan saja karena faktor eksternal seperti contoh di atas, melainkan juga internal seperti benci sama orang lain, tidak suka dengan keadaan dan penolakan personal. Skenario bukan saja satu dua tetapi bertingkat karena jadi memikirkan segala kemungkinan. Ada banyak gagasan tapi karena dasarnya cemas maka sudah pasti apa yang ada di dalam kepala itu menjadi reaktif, bahakn bisa menggiring orang menjadi kontraproduktif.
Hal yang patut disorot adalah begitu banyak orang yang dilanda kecemasan, kelewat mikir dan justru tumbuh berkembang jadi sosok yang sama sekali tidak bisa rileks bahkan terhadap diri sendiri. Mengapa demikian? Sebab budaya yang tumbuh di sekitar kita dan sangat mempengaruhi lingkungan hingga pola pikir itu adalah adanya kontrol dan obsesi yang sangat kuat terhadap rasa aman, damai dan bahagia. Emangnya siapa sih yang nggak pengen kayak gitu? Hidup yang harmoni, berkecukupan dan tenang adalah realisasi yang dianggap sangat penting dari obsesi tersebut. Lihat saja, lukisan yang populer di jaman Orde Baru; sawah menguning sungai mengalir dan orang panen padi hiddup di lembah perkampungan diapit gunung. Meski masanya sudah lewat, tapi obsesi terhadap rasa aman damai dan bahagia itu sedemikian melekat, sehingga orang jijik dengan ekses dari perubahan yang ada pada saat ini. Kehidupan dianggap tidak lagi menyenangkan, penuh krisis, penyakit, perang, resesi dan berbagai 'kesulitan duniawi' lainnya. Maka ungkapan seperti "piye, enak jamanku tho?" jadi sempat populer sebagai ekspresi kerinduan masa-masa lalu.
Padahal sejatinya memang tidak pernah ada rasa aman, damai dan bahagia dalam sejarah panjang manusia. Hidup itu memang nggak enak kok. Penuh guncangan dan kejutan. Belum lagi soal konflik dan juga ketegangan yang timbul mulai dari soal pritil sampai skala internasional. Tapi orang sering lupa bahwa dinamika semacam itu adalah dibutuhkan. Betapa tidak, dengan adanya beragam guncangan maka kemajuan akan selalu muncul sebagai peluang. Jika tidak, hidup orang akan begitu-gitu aja tanpa perubahan. Misalnya dengan pandemi, maka desakan untuk menggunakan teknologi menjadi jauh melesat ketimbang sebelum adanya Sikopid itu. Orang menjadi dipaksa untuk terbiasa dengan onlen-onlen supaya kehidupan tetap berjalan. Sama halnya dengan perang yang seringkali dihindari karena resiko korban jiwa, juga punya kontribusi terhadap perkembangan sejarah manusia dilihat dari perspektif kemajuan seperti teknologi pangan hingga sektor ekonomi lain. Di abad ke-20, tumbuhnya makanan cepat saji, kemasan hingga distribusi bahan pokok menjadi pesat gegara perang kan?
Jadi kontrol obsesi terhadap kedamaian itu sebenarnya menyesatkan. Manusia ditarik dari kenyataan yang sudah jelas tidak indah dari hidup dan kemudian kelewat mikir untuk bagaimana caranya bisa menggapai hidup yang penuh dengan rasa aman, damai dan bahagia. Jika ada hal yang sedikit saja menganggu perasaan dan kenyamanan, maka pikiran menjadi cemas dan berupaya untuk meredakan. Meredakan lho ya, bukan mencari solusi. Jadi kecemasan itu lama kelamaan ditumpuk begitu saja, menjadi kronis dan membahayakan tidak saja pikiran tetapi juga fisik. Distraksi sekecil apapun bikin mikir jadi berlipat-lipat. Orang menjadi cepat rapuh, tidak pernah belajar untuk menerima kenyataan atau memperbaiki kesalahan. Sebaliknya, kebiasaan cemas itu justru mendorong orang untuk menghindar dari konflik, memelihara delusi dan akhirnya tercerabut dari kenyataan. Kebanyakan mikir yang nggak-nggak sudah pasti bisa membunuh diri sendiri.
“Man is not worried by real problems so much as by his imagined anxieties about real problems” ~Epictetus
Maka di jaman begini, semakin banyak orang yang sudah kelewat mikir berlebihan, tidak mampu apa adanya, dan hanya bisa menyalahkan keadaan. Beberapa tahu bahwa ada yang keliru dengan cara atau pola berpikir semacam itu, tapi tidak mampu untuk menemukan atau mengubahnya. Sebab kontrol dan obsesi bukan lagi milik personal, melainkan sudah menjadi budaya atau kebiasaan kolektif yang tetap dipelihara dan dijaga. Jadi jangan heran, bahwa di tengah keksiruhan hidup akan ada orang yang sudah menjadi gugup lantaran bingung mau berbuat apa, dan ada juga yang kepedean seolah tidak terjadi apa-apa. Keduanya jelas nggak akan membuat perubahan, malah menambah ironi tentang hidup yang bebas lepas dari ketegangan. Padahal namanya tensi ya wajar-wajar aja, namanya konflik juga biasa. Kalo pilihannya lari dari kenyataan atau malah delusional kayak nggak ada masalah ya gimana nggak puyeng? Sibuk berimajinasi mikirin berlapis strategi tentang apa yang harus dikerjakan esok nanti, pening ngurusin orang lain, tapi tetap saja diri sendiri nggak kemana-mana. Larut ke dalam busa cemas yang melimpah. Persis kayak deterjen dong ya? Tapi keraknya masih banyak noh.