Memiliki keris Bali dalam kategori sebilah pusaka juga gampang-gampang sulit. Gampang karena pada hakekatnya bersifat non transaksional alias tidak berbayar. Beneran ini? Tentu saja. Orang tinggal datang ke prapen tertentu yang memang menyediakan ruang dan waktu untuk melakukan nuasen atau ritual permohonan untuk dibuatkan sebilah keris. Sulit, karena dengan ritual berarti menandakan keseriusan dan kesanggupan untuk memiliki dan merawatnya sebagai simbolisme jati diri. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa melakukan hal ini sebab resiko yang ditanggung juga amat besar. Resiko tersebut bersifat tangible atau sekala seperti kepemilikan yang harus dijaga kelak, maupun intangible atau niskala bahwa tidak bisa main-main, berbohong atau tidak jujur dalam menyatakan permohonan.
Lantas darimana biaya pembuatan sebilah pusaka? Itu ditanggung oleh komunitas dan adat yang berlaku. Dengan demikian, antara benda yakni keris, locus yakni prapen dan subyek sebagai pemilik terjadi ikatan yang sangat kuat. Itu menjelaskan bahwa dulu di Bali pada dasarnya tidak mengenal jual beli pusaka. Tidak ada orang yang mau menjual simbolisme jati diri yang terbentuk di dalam sebilah keris miliknya. Jika keris tidak diwariskan, maka pusaka tersebut dikembalikan kepada prapen tempat pembuatannya. Ini memberti makna bahwa memiliki sebilah keris pusaka Bali adalah juga memiliki kejelasan akan asal usul baik tempat menempa dan siapa yang menempa. Seorang Pande keris Bali pun juga memiliki garis keturunan yang jelas dan dapat dilihat jejak rekamnya.
Lain halnya jika mau memperindah keris maka bisa saja datang ke pengrajin lain untuk mengganti danganan atau gagang keris, warangka atau sarung bilah yang lebih menarik atau mewah sekalipun. Dengan demikian, barulah pusaka dapat menghidupi perekonomian, membangun komunitas dan juga memperkuat persaudaraan. Jadi serius nih mau memiliki keris Bali sebagai pusaka?