Jaman gini orang lebih percaya istilah kerja cerdas atau work smart, ketimbang kerja keras atau work hard. Mengapa? Sebab bayangan akan kerja keras itu benar-benar mengerikan. Seolah tuntutan kerja sedemikian tinggi sehingga orang harus serius membanting tulang, tak kenal waktu, fokus dan terarah, entah apapun istilahnya digunakan untuk memberi definisi bahwa ada segala daya upaya dikerahkan untuk soal kerja. Dengan demikian kerja menjadi prioritas nomor satu yang tak dapat diganggu gugat dari sisi waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya yang dikeluarkan. Harus diingat pula, saat ini semua serba kompetitif. Nggak kelihatan, maka nggak akan dilirik.
Itulah sebabnya orang kemudian percaya istilah kerja cerdas. Seolah dengan sebutan tersebut, maka banyak hal yang dapat disiasati sehingga penggunaan waktu, tenaga dan pikiran bisa seminim mungkin untuk mendapat hasil yang maksimal. Kerja cerdas menjadi solusi seolah dengan menikung proses kerja maka orang bisa menjadi efisien dan akhirnya ada waktu, tenaga dan pikiran yang tersisa untuk digunakan dalam hal lain. Benarkah demikian? Ternyata sayang sekali tidak. Istilah kerja cerdas sebenarnya mitos, karena justru ada banyak waktu, tenaga dan pikiran bahkan biaya yang secara tidak sadar justru dikeluarkan dengan ekstra tanpa diketahui atau tidak dihitung. Lihat saja pola bujukan perusahaan jaman sekarang dimana ada penawaran jam kerja fleksibel (baca: siap diganggu kapan saja), fasilitas laptop (baca: harus kerja dari mana saja), tidak ada hirarki (baca: delegasi tugas bisa siapa saja), dan lainnya. Apa iya kemudian orang menjadi cerdas untuk bisa mensiasatinya? Stress bertambah, beban kerja menumpuk dan yang bisa dilakukan adalah berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Kemudian, pertanyaan terpenting adalah apakah ada waktu, tenaga, pikiran bahkan biaya yang bisa diselamatkan? Tentu tidak. Kompetisi yang ketat memaksa orang untuk tetap berada di pusaran kerja. Seseorang yang dianggap lebih smart, akan menerima beban lebih untuk bisa menyelesaikan tugasnya dengan ekstra. Lembur juga bisa dibayar dimuka. Lelah? Ada program Work Life Balance biar cepat pulih dan lebih bersemangat untuk kerja lebih cerdas, eh keras kembali. Jadi tidak ada satu pun yang bakal selamat, kecuali mereka yang menyisihkan diri untuk cuma nonton saja di pinggiran. Para penganggur terselubung itu.
Padahal di dalam kerja ada banyak faktor yang membuat performa menjadi meningkat seperti visi dan misi yang jelas, proses kerja, pola organisasi, sumber atau sarana yang bisa digunakan, pola komunikasi dan kepemimpinan organisasi, serta sistem pembelajaran untuk menghasilkan perbaikan atau improvement. Bayangkan jika organisasi kerja dijalankan macem warung kopi angkringan tentunya akan membuat output yang diinginkan tidak akan sesuai. Kerja menjadi lebih keras, meski dicoba dengan smart sekalipun. Itulah sebabnya, kerja cerdas adalah kerja yang jauh lebih keras ketimbang kerja keras itu sendiri. Udah nggak punya visi, menjalankan misi juga tidak sesuai kesepakatan organisasi, proses kerja asal-asalan cuma cari pencapaian taktis, polanya juga tidak mencerminkan delegasi dan keseriusan, sarana minim, komunikasi juga searah suka-suka, kepemimpinan secara de facto tidak ada struktur, terus mau jadi apa? Tidak heran jika organisasi kerja macem begitu isinya adalah para oportunis, pecundang dan juga pasifis asal ikut yang tidak bisa diharapkan untuk memperkeras organisasi. Apalagi membuat kerja di dalamnya menjadi efisien serta maksimal. Pengen dibilang cerdas pula, padahal tidak menghasilkan apa-apa.
Maka janganlah percaya istilah kerja cerdas begitu saja. Jika lebih keras dibandingkan kerja keras, ngapain juga harus berlagak smart? Lebih baik menghasilkan secara efisien dan maksimal, ketimbang hanya berlindung dibalik jargon tanpa paham makna sesungguhnya. Toh namanya juga kerja. Kalau nggak smart, hard ya harsh. Tidak ada pilihan kecuali emang mau nonton aja dari pinggiran.