Pernahkah mendengar "cintailah pekerjaanmu sehingga apa yang kau lakukan secara sungguh akan menghasilkan banyak hal lebih dari sekedar uang"? Jika dipikirkan lebih serius, maka ungkapan semacam itu ada benarnya. Akan tetapi kenyataan selalu tidak seindah impian. Mengapa? ada fakta tak terbantahkan bahwa tidak semua orang bekerja karena pilihan terhadap pekerjaan itu sendiri. Motif yang lebih sering adalah karena faktor tidak ada pilihan lain alias terima apa yang ada, duit yang diterima bisa jadi lumayan daripada nggak dapet sama sekali, atau sebalikny relatif cukup besar sehingga pekerjaan itu diambil meski nggak suka. Ada juga faktor lain seperti soal jarak yang dekat, waktu yang dihabiskan, atau pilihan-pilihan non karir lainnya. Biarin deh ambil dan bertahan, toh nggak terlalu nyusahin. Nggak perlu naik pangkat atau jabatan yang penting bisa nyaman. Datar-datar saja lebih baik. Nggak perlu mikir keras, sebab kenyamanan itu mahal. Lebih baik begitu-begitu aja, ketimbang harus pusing mikirin tugas dan tanggung jawab yang lebih besar.
Dari fakta tersebut tergambar jelas bahwa dengan bukan pilihan yang sungguh, maka hasrat orang untuk mendalami pekerjaan tersebut bisa menjadi sangat rendah. Terlebih jika pekerjaan itu berhubungan dengan orang lain seperti servicing atau pelayanan, kesehatan, edukasi atau pendidikan, atau hal lain yang berkaitan dengan output atau hasil berupa hal yang melekat dengan manusia. Misalnya saja menjadi guru atau dosen. Bagaimana dengan pilihan tersebut bukan karena keinginan yang kuat untuk mendidik? Semisal karena nggak ada pilihan lain. Banyak juga lulusan S2/S3 yang tidak didisain untuk siap dilempar ke pasar sehingga menjadi tenaga pendidik adalah pilihan yang utama. Bagaimana jika pilihan tersebut karena alasan yang lebih teknis seperti daripada nganggur, atau sekedar mencari penghasilan? Sama halnya jika seorang tenaga sales atau marketing hanya sekedar mencapai target minimal dan tidak membangun engagement yang cukup bagus terhadap pelanggan atau klien sebagai sebuah pencapaian lebih.
Dengan hasrat yang rendah, maka kualitas yang didapat juga rendah sehingga output yang dihasilkan juga rendah. Maka tidak mengherankan jika mutu pendidikan menjadi dipertanyakan berupa kualitas yang berbanding lurus dengan hasrat atau kecintaan terhadap siapapun yang terlibat di dalamnya. Jangankan pendidikan, konteks lain seperti misalnya pelayanan, jasa atau yang berkaitan dengan kualitas manusia sekali pun tentu juga memiliki masalah yang sama. Salah satu ciri dari ketiadaan hasrat tersebut adalah tidak adanya curiosity atau penasaran yang mendalam untuk menghasilkan inovasi. orang sudah cukup puas untuk sekedar menjalani rutinitas kerja, mengulang proses yang sama, dan ujungnya terbentur kepada kejenuhan.
Jika sampai pada titik itu, maka keluhan-keluhan akan muncul. Sebab masalah akan muncul dalam berbagai variasi, padahal pola yang diterapkan tidak berubah hanya gitu-gitu aja. Ujungnya menyalahkan situasi, prosedur, sistem, bahkan orang lain. Itu persis seperti sebagian besar guru honorer yang ingin diangkat menjadi pegawai negeri. Telisik lagi hingga ke awal; benarkah ingin menjadi guru atau hanya batu loncatan menjadi pegawai negeri? Sebab menjadi bagian aparatur sipil negara adalah impian mewah soal masa depan yang terjamin dengan adanya tunjangan hingga pensiun. Jika ingin mendidik, adakah hasrat yang melahirkan inovasi demi anak didik? Toh tidak semuanya ternyata begitu. Itu sama kayak dosen luar biasa yang mengeluh membayangkan pemerintah memberi beban luar biasa kepada dosen dengan beragam tugas seperti sertifikasi, beban kerja, laporan, mengajar, menulis, meriset hingga pengabdian kepada masyarakat. Padahal itu bukan tugas dosen luar biasa, melainkan dosen tetap. Dosen tetap saja tidak banyak yang mengeluh karena itu idealnya memang sudah tugas mereka sejak dulu. Kalo pun ada keluhan, bagimana dengan situasi, sistem, prosedur yang ada di sekitarnya? Coba dicek kembali. jangan sampai peserta didik malah jadi kambing hitam gegara mutung terhadap keadaan.
"You have to be burning with an idea, or a problem, or a wrong that you want to right. If you're not passionate enough from the start, you'll never stick it out." ~Steve Jobs
Oleh karena itu, hasrat dalam pekerjaan juga penting. Mengejar pesyen katanya. Sebab dengan mencintai pekerjaan, maka akan selalau ada perbaikan diri baik dari sisi kualitas, wawasan hingga cara penyelesaian masalah. Itu persis seperti di dalam bisnis bahwa dengan melakukan sesuat seca utuh dan berdedikasi, maka karakter terbangun. dengan karakter terbangun, reputasi menyusul. Dengan reputasi, proyek datang sendiri. Dengan tanpa dicari, ujungnya uang datang sendiri. Demikian halnya kerja profesional apapun, akan selalu punya peluang untuk fokus kepada pengembangan diri secara serius. Barulah kemudian ketika reputasi hingga benefit lain datang adalah sebagai bonus dan bukan sebaliknya, mengejar duit mati-matian hingga lupa terhadap soal dedikasi.
Jadi mencintai pekerjaan bukan main-main. Efeknya bukan saja terhadap orang lain tetapi juga diri sendiri. dengan berinovasi, maka banyak pengembangan yang bisa dilakukan yang berdampak kepada segala hal. Ada perbaikan kualitas, komitmen, dan konsistensi sehingga semakin mencintai maka semakin mendalami apa yang dikerjaan. Kok bisa? Bayangin jika seorang supir, koki, tukang sapu, waiter, kasir, sales promotion girl/man, manajer, dokter, guru, dosen, akuntan, pengacara, atau profesi apapun adalah benar-benar profesional dalam arti melakukan kerja karena kecintaan. Dengan demikian, apapun yang dihasilkan sudah pasti punya kualitas berbeda ketimbang cuma sekedar asal-asalan, biar gajian atau cuma menyambung hidup. Payah kan?