Di jaman serba modern dan kompetitif begini, hampir semua orang berlomba memperlihatkan kualitas dan pencapaian dirinya. Seolah dunia membutuhkan talenta dan profesionalisme yang dimiliki baik melalui hardskills, softskills dan sebagainya. Akan tetapi cukupkah itu semua? Ternyata tidak. Banyak orang yang mengklaim dirinya cerdas, sukses, melimpah secara material tapi kerap tidak punya karakter yang cukup bagus. Karakter tersebut bukan saja soal kemampuan menyesuaikan diri, berempati, tetapi juga secara sincere atau tulus menunjukkan pengalaman dalam mengapresiasi dan berhubungan dengan orang lain. Artinya kemampuan mendalami dan merawat interaksi sosial baik dalam konteks personal dan profesional sangatlah dibutuhkan.
Bagaimana bisa mengukurnya? Dalam relasi interpersonal, tentu saja kencan atau dating adalah salah satu cara efektif untuk bisa mengetahui sejauh mana seseorang memiliki karakter yang cukup bagus, hangat dan bisa diandalkan. Hanya saja, banyak yang salah kaprah di sini. Pertama, kencan bukanlah melulu berorientasi afeksi atau bahkan seksual semata. Jangan beranggapan urusan kencan apalagi pertama, adalah ngomongin isi celana dalam. Kedua, kencan juga bukan upaya untuk sekedar memperlihatkan impresi yang positif saja bak layaknya marketing. Orang harus berani untuk tampil apa adanya dengan apa yang dimiliki dan dilakukan. Ketiga, dengan melakukan kencan yang baik dan benar, maka akan ada banyak informasi yang bisa didapat secara timbal balik sehingga minimal pengetahuan dan pengalaman di dalam ruang relasi interpersonal semakin membaik pula.
Misalnya saja kencan buta atau blind date. Itu merupakan cara mengukur kemampuan mengelola resiko dan ekspektasi. Maka nggak heran kalo baru pertama ketemu dan belum tau, ya lebih baik di tempat terbuka. Nggak perlu juga punya harapan selangit. Target minimal pastinya mengenal dan jadi teman. Kalo wajahnya nggak sesuai harapan, ya jangan lari begitu saja. Lalu pilihan yang cukup bagus adalah bertemu semisal di toko buku. Mengapa? Sebab preferensi awal menunjukkan pilihan berkaitan dengan minat dan kemampuan kognitif yang ada. Itu penting sebagai dasar eksplorasi dan kelak nantinya problem solving seseorang berdasarkan rujukan bacaan yang dimiliki. Tidak semua orang suka membaca dan sudah pasti cenderung abai terhadap urusan berpikir. Begitu masuk toko buku, lihatlah bagian mana yang dipilih dan dinikmati selama beberapa saat. Apapun pilihan dan berapa lama di dalam, menjadi indikator penting di dalam soal orientasi ke depan. Kencan bisa berlanjut urusan makan. Bagaimana perlakuan terhadap waiter/waitress, etiket makan, hingga interaksi dengan sekitar juga memperlihatkan karakter berkaitan dengan level kesantunan. Ada orang yang bisa kasar terhadap pelayan, makan tidak dihabiskan, buang sisa makanan sembarangan ke bawah meja, berisik ngobrol, sibuk main hape atau tanpa sadar berdecap angkat kaki padahal tidak sesuai dengan tempatnya. Terakhir urusan bayar-bayar. Konon katanya kalo bayar terpisah, itu teman. Kalo lelaki yang bayar semua artinya pacaran. Jika perempuan yang bayar semua, artinya suami istri. Katanya sih gitu. Tapi dalam beberapa fase kencan, itu menunjukkan inisiatif dan tanggung jawab. Bisa saja terpisah, bisa saja salah satu pihak tergantung kesepakatan.
Untuk mencapai kesepakatan itulah yang tidak mudah. Sebab dalam pertemanan sekali pun ada saja orang yang keenakan ditraktir tapi tak pernah sekali pun mencoba hal yang sama bergantian. Ibarat berkunjung ke rumah orang tanpa buah tangan, atau mengembalikan piring tetangga dengan tangan kosong. Ada saja orang yang dengan wajah lempeng beranggapan bahwa sudah sepatutnya orang berbaik kepada dirinya, tapi tak pernah memikirkan apakah tindakan yang sama juga bisa diterapkan kepada orang lain. Karakter? Itu sudah jadi kebiasaan rupanya. Sebab sekali demikian, akan sulit untuk bisa mengubah lantaran ada kontribusi pendidikan dan nilai yang sudah lebi dahulu ditanam. Menosiasi atau mengubahnya menjadi nilai baru sudah pasti membutuhkan proses dan pembiasaan yang tidak sebentar. Pada tahap ini, orang akan sengaja langsung atau tidak memperlihatkan derajat self-entitlement yang dimiliki.
Pengertian tentang self-entitled adalah soal rasa kepantasan diri. Ini sebenarnya lebih kepada bentuk arogansi. bahwa diri ini jauh lebih pantas, berharga, bermakna, berkualitas atau bernilai dibandingkan orang lain. Padahal kembali kepada konteks awal berupa kencan, adalah upaya untuk membangun relasi interpersonal secara terbuka dan apa adanya. Nah, bayangkan jika seseorang yang mungkin saja dirimu, gagap di dalam membangun relasi interpersonal dengan orang lain. Kemudian situ masuk nyebur ke dalam konteks dunia profesional yakni kerja tim, memimpin dan dipimpin, mengelola dan dikelola, atasan bawahan, kooperasi atau kolaborasi, dan sejenisnya. Anyep kan? Pasti.
Sebab derajat self-entitlement yang dimiliki bisa jadi sudah meninggi terlebih dahulu. ketika orang terbiasa memandang rendah ya lain seperti membentak atau memaki pelayan, maka kualitasnya amat diragukan ketika harus juga berinteraksi dengan orang lain secara profesional. Kalo pun bisa berubah, jelas nggak genuine. Orang semacam itu hanya mau bergaul dan berinteraksi dengan siapapun yang dianggap sesuai dengan dirinya. Padahal pelayan bukanlah pembantumu. Mereka adalah orang yang bekerja mencari nafkah tanpa diketahui latar belakangnya. Sama halnya dengan perkara tidak menghabiskan makanan. Itu bukan soal penghematan, tapi attitude sejauh mana dirimu efektif dan efisien mulai dari soal memesan, menunggu, kemudian problem solving yang harus dibuat ketika tidak habis. Main buang? Menyedihkan. Belum lagi sehabis makan tinggal pergi begitu saja tanpa berniat setidaknya menyusun piring di meja supaya tidak berantakan. Itu juga refleksi dari pengambilan keputusan.
"Sometimes you're fooled quickly. You want to be fooled. If you can't trust your first impression you're going to have a harder time than you should." ~Hunter S. Thompson
Jadi tidak mengherankan jika banyak orang terseok-seok mulai dari urusan interpersonal hingga profesional. Mulai dari soal kencan hingga bekerjasama dengan orang lain. Sebab first impression atau kesan pertama memang bisa menipu. Pertama, ini mengajarkan kita bahwa impresi itu bukan soal dagang atau beli kucing dalam karung. Dalam relasi personal antar individu, keterbukaan dan kejujuran jelas penting untuk menunjukkan diri yang sebenarnya. Nggak perlu belagak pintar, tajir, ramah dan murah hati. kalo emang lu kagak demen baca ya bilang aja. Nggak suka makan makanan anu ya ngomong. Lagi nggak punya duit ya terus terang. Perkara diterima atau tidak, bodo amat. Kedua, ini sama halnya dengan bentuk profesional. Impresi pertama bisa saja muncul dari jejek rekam seperti CV atau resume yang bagus, wawancara yang menyenangkan, gambaran aktivitas seperti jadi pemateri, pembicara atau orang yang dirujuk keahliannya. Atau bahkan pamer di LinkedIn soal prestasi, pencapaian, komentar dan pujian biar dilirik top management. Apakah isinya benar? Belum tentu. Sebab urusan kolaborasi saja sering disalahtafsir sebagai bentuk kerjasama lepas dan singkat. Ketemu sukur, nggak ya udah. Kalo ketemu juga sebentar. Padahal dinamika di dalam urusan profesional sekali pun juga tidak lepas dari skema kooperasi yang lebih besar. Masa' iye mau punya klien setahun dua tahun doang terus lepas? Nggak gitu kalee.
Itulah sebabnya jangan pernah mengandalkan hanya sekedar impresi, tanpa pernah diikuti kualitas yang setara. Jika kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya ya dibikin lebih bagus dong ya. Mau urusan kencan kek, kerja kek, nggak ada yang bisa berjalan mulus tanpa sikap otentik yang nyata dari seseorang. Itu baru beneran otentik, asli apa adanya. Kalo cuma pura-pura, lebih baik kencan berbayar aja di jaringan hotel murah meriah macem kosan. Kalo cuma mau relasi sesaat dalam bisnis, cukup kerja subkontraktual tanpa perlu mikirin kepuasaan pelanggan lebih jauh. Apa iya puas begitu? Harusnya nggak dong ya.