Ketika orang sudah mulai bisa memapankan hidup, maka ada banyak pilihan terbuka untuk mulai sibuk mengurus dan merawat dirinya sendiri. Mulai dari kebiasaan untuk berdandan, berolahraga, berlangganan ini itu, menggunakan jasa nganu ngono, sampai pada keputusan untuk bsia tampil sehat bugar sejahtera penuh dengan senyum simpul kegirangan. Sudah pasti beda ketika masih pada susah. Jangankan merawat diri, mikirin makan apa hari ini saja sudah menjadi rutinitas yang standar dilakukan sehari-hari. Jadi nggak salah juga justru di masa sekarang, orang yang sudah mampu dan termasuk kategori menengah atas ternyata adalah mereka yang bisa mengubah pola hidup dengan lebih sehat. Bisa mengurangi resiko makanan jahat, gaya hidup sehat dan tampil bugar. Sebaliknya, mereka yang berada di kelas bawah bersamalah dengan problem kesehatan yang dulu identik dengan tubuh orang kaya. Mulai dari obesitas perut gendut, stroke hingga gagal jantung.
Maka nggak heran jika dunia sudah terbalik. Menjadi sukses adalah menggunakan indikator penampilan yang berbeda dengan abad sebelumnya. Kalo dulu kaya identik dengan tambun, buncit, dan sejenisnya maka sekarang harus langsing, putih, wangi dan menawan dari sisi fisik maupun performa yang ada. Nggak heran jika klinik kecantikan, urusan gigi, alis, ngegym, ngatur pola makan dan menjauhi diri dari segala godaan syaiton yang menyebabkan tampilan buruk menjadi semakin laris manis. Tapi apakah dengan demikian bisa sekonyong-konyong mengubah bagaimana perilaku sosial yang bersangkutan? Ternyata belum tentu. Orang boleh ngaku keren cantik ganteng tapi menghadapi orang lain saja sebelum tentu bisa dengan baik.
Sehubungan itu, ada tiga indikator penting yang biasa digunakan ketika apakah seseorang berbanding lurus dengan pencapaian di dalam hidupnya, ataukah malah justru nggak berubah sama sekali. Tetap terjerembab ke dalam lubang kelakuan yang menista orang lain. Pertama, ketika berhadapan dengan orang yang lebih rendah secara strata sosial dibandingkan dirinya. Entah bawahan atau pelayan, sikap itu akan muncul mulai dari merendah hati atau malah menyombongkan diri. Orang yang baru menggapai level sukses biasanya harus menghadapi situasi seperti itu terlebih dahulu. Banyak yang gagal dengan merendahkan bahkan menghina. Namanya juga baru naik kelas sosial kan? Padahal entah bawahan atau pelayan belum tentu juga orang yang sama ketika profesi itu lepas dari dirinya. Ini bukan lagi jaman kerajaan dimana strata sosial bersifat permanen. Ini alam demokrasi ketika orang bisa saja bergiliran menempati sebuah posisi. Berpura-pura punya empati atau sok memperhatikan juga sama saja, nggak bakalan punya tempat yang baik di mata orang lain.
Kedua, ketika berhadapan dengan orang yang lebih lemah baik secara fisik, mental, kapasitas sosial ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya. Sebab ini juga jadi godaan karena sudah pasti merasa unggul. Orang yang inferior secara mental akan sibuk bicara soal pencapaian-pencapaian personal dengan harapan menjadi contoh sekaligus pamer akan keberhasilan. Jika sebelumnya sombong, maka ini menimbulkan kepengecutan karena sudah pasti hanya akan berani kepada yang lemah atau dianggap tidak berdaya. Begitu tau siapa yang dihadapinya maka akan dengan segera berubah sikap dan siap menjilat. Keberanian yang timbul ternyata palsu dan hanya keluar menyesuaikan dengan arah angin.
Ketiga, ketika berhadapan dengan orang yang dianggap tidak punya kepentingan atau asing baginya. Pilih-pilih adalah cara untuk bisa panjat sosial dengan cepat. Maka nggak heran kalo orang yang begitu akan sangat berhitung ketika berhadapan dengan orang lain. Jka dianggap nggak level, boro boro negor. Senyum pun juga nggak bakalan. Padahal menilai kacang dari kulit itu percuma, sebab tidak ada yang tau pasti bagaimana kapasitas atau kualitas seseorang bahkan hingga dia buka mulut. Ini sudah pakem klasik yang berlaku semisal di marketing. Oleh sebab itu mereka yang pansos suka kecele dan kejebak. Orang yang dicuekin bisa jadi malah punya lebih banyak kontribusi dan bernilai penting bahkan untuk dirinya. Orang yang ditempel dan didekati bisa jadi malah parasit yang jauh lebih berbahaya dibandingkan dirinya.
"The best index to a person's character is how he treats people who can't do him any good, and how he treats people who can't fight back." ~Abigail Van Buren
Akan tetapi ketiga indikator itu bisa jadi percuma, sebab urusan kualitas suka diabaikan. Penampilan jadi jauh lebih penting sebagai sebuah pencapaian daripada harus berpayah-payah memanusiawikan diri sendiri. Dengan kata lain, membangun dan memperbaiki karakter akan dilihat jauh lebih sulit dibandingkan memoles diri dalam ruang-ruang kesuksesan semu. Karakter jadi pekerjaan yang rumit dan reputasi jauh lebih berharga. Maka urusan panjat sosial, poles memoles, patut mematut, jual beli omongan, belagu tengil dan menindas bakal lebih gurih sedap. Nggak pernah terlalu nanggung untuk dilakukan. Nah, masalahnya emang mau sampai kapan begitu?