Ketika seseorang masuk kerja, tentunya punya banyak harapan. Mulai dari ekspektasi terhadap penghasilan, waktu yang digunakan, pengalaman yang bakal didapat, lingkungan kerja yang nyaman, beban kerja yang masih bisa diselesaikan dan sebagainya. Akan tetatpi ketika memilih resign atau keluar, tentu alasannya bisa lebih banyak sih. Terlebih sudah bukan rahasia lagi jika dalam exit interview yang dilakukan HRD, jawaban yang diterima sudah tentu normatif seperti mau urus keluarga dan sejenisnya.
Padahal di jaman gini cari kerja pastinya tambah susah. Ketika pandemi bergejolak, orang sedapat mungkin bertahan supaya periuk nasi masih tetap bisa ngebul. Mau potong gaji kek, mau kerja di rumah aja atau disuruh ngantor kek, intinya tiarap dulu. Begitu sikopid mereda, barulah kemudian ambil ancang-ancang untuk ambil yang lebih baik.
Tentu saja alasan untuk sesuatu yang lebih baik dengan mundur dari pekerjaan yang ada bisa sangat beragam. Ini beda dengan pecatan karena kasus seperti kelewat banyak bolos hingga dapet beberapa kali peringatan, manipulasi, korupsi, atau nyolong hingga berurusan dengan polisi, bohong atau memberikan keterangan palsu, pelanggaran norma susila, hingga membuka rahasia perusahaan. Alasan keluar yang masih baik-baik adalah pertama karena personal keluarga. Bisa jadi mau menikah, sakit, mau sekolah lagi. merawat anak atau orang tua, melanjutkan bisnis atau membuka usaha baru. Kedua, karena teknis jarak dan waktu seperti terlalu jauh atau pindah kota hingga negara. Ketiga, alasan yang lebih profesional seperti penawaran yang lebih baik dari tempat lain atau terus terang tidak cocok dengan pekerjaan yang sekarang.
Beragam alasan seperti itu bisa benar bisa tidak. Mungkin orang masih enggan mengatakan yang sesungguhnya sehingga alasan yang disampaikan belum tentu terbukti sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi seperti apapun alasannya, toh semua ingin yang terbaik kan? Meski demikian, beberapa asumsi yang muncul umumnya adalah beban kerja yang terlalu tinggi, lingkungan yang dianggap tidak memberikan motivasi penuh, pendapatan yang kurang, hingga hal-hal lain yang lebih personal seperti konflik atau kompetisi yang tidak sehat. Asumsi tersebut merupakan cermin terbalik dari alasan yang secara normatif diberikan oleh setiap orang dalam proses keluar atau mundur.
Hal yang menarik adalah keputusan untuk keluar, mundur atau berpindah pada generasi sekarang sangat berbeda pula dengan generasi jaman dulu. Mereka yang kini paruh baya dan sebelumnya, melihat kerja adalah bentuk pengabdian berdasarkan waktu. Semakin lama kerja di satu tempat, maka dianggap yang bersangkutan memiliki reputasi personal yang baik. Maka nggak heran jika kalo ditanya, kerja puluhan tahun adalah sebuah kebanggaan. Generasi sekarang justru menganggap kerja adalah bentuk pengabdian berdasarkan beban. Jika kerja dari Senin sampai Jumat dan target tercapai, maka jangan harap Sabtu Minggu bisa diganggu. Itu waktu buat me time dan healing. Ngomongin gaji juga bukan hal yang tabu kayak dulu. Maka beda lima ratus ribu pun bisa ancang-ancang kaki siap mundur buat ambil meski hanya sebesar itu.
Jadi generation gap di antara mereka cukup besar. Orang jadul yang kini banyak duduk di level atas akan mencibir kalo anak buah mereka si milenial tua dan muda itu nggak loyal, nggak disiplin, bahkan selalu punya alasan untuk menghindar dari beban kerja. Sementara yang muda balik nyinyir kepada gen X meski kerap keliru mengidentifikasi sebagai boomer, dengan mengatakan kalo atasan mereka itu kaku, sok iye, gaptek dan betah kerja karena nggak punya banyak pilihan. Jika kini kecenderungan para anak muda untuk keluar masuk kerja dalam hitungan satu dua tahun bahkan bulan, apakah karena kesenjangan tersebut? Belum tentu, meski harus diakui pula bahwa frekuensinya semakin membesar.
“If you’re brave enough to say goodbye, life will reward you with a new hello.” ~Paulo Coelho
Tantangan di masa depan justru kelak adalah ketika para milenial ini mulai memasuki top level, berhadapan dengan gen Z atau iGen yang jauh lebih muda, lebih individualistis, berkutat hanya pada persoalan teknis dan terbiasa minim interaksi secara langsung. Warisan pandemi ceritanya. Bagaimana dengan sistem bisnis yang sudah dibangun? Apakah ada perubahan ekosistem yang secara perlahan sudah mulai terdigitalisasi hingga nanti menjadi semakin jauh dari bentuk pendekatan human/personal? Bagaimana transformasi semacam itu berpengaruh kepada keputusan dan pilihan setiap orang yang dianggap merepresentasi generasi tertentu? Panjang banget dah pe-ernya.