Sudah menjadi kebiasaan jika orang butuh motivasi atau penyemangat hidup dalam sehari-hari. Bentuk motivasi yang paling sering dijumpai adalah kata-kata manis yang jadi pendorong agar orang berpikir positif, optimis, serta melihat hidup itu selalu dari sisi terang. Padahal realitas sehari-hari memang nggak selamanya begitu. Banyak juga bagian yang buram bahkan kelam sehingga orang yang pesimis dan entah mau bilang apa sudah tak terhitung banyaknya. Itu menunjukkan bahwa hidup tak seindah yang biasa digambarkan. Berprasangka baik dan optimisme adalah cara ideal yang diinginkan supaya sekurang-kurangnya ada harapan di tengah kepenatan, kebisingan dan potensi kegagalan yang selalu ada.
Akan tetapi jaman gini motivasi dalam bentuk kata-kata mutiara saja tidak cukup. Sebab orang butuh panduan yang lebih kongkret. orang butuh arahan di dalam hidup yang nyata agar segala kesusahan itu bisa menyingkir dengan cepat. Maka nggak heran jika era pemanis itu sudah lewat. Cuma dianggap permen doang buat menyegarkan hidup sementara. Lantas apa yang dianggap lebih baik? Segudang petuah tentang bagaimana menjalani hidup agar bukan saja lebih bermakna tapi juga produktif. Kata produktif menjadi kunci dan sekaligus ukuran tentang keberhasilan. Dengan sukses, maka segala realitas yang buram itu bisa lebih cepat menyingkir. Jadi semakin banyak orang yang kemudian merasa menjadi produktif ketika sudah bicara soal tips dan trik mulai dari kiat melamar kerja, memilih profesi, menjalankan peran di kantor, hitung-hitung benefit, memulai bisnis, merancang investasi yang cocok, ngomongin seberapa besar gaji ideal, sebanyak apa simpanan dan tabungan serta hal-hal yang memang bersifat material dan sudah pasti nyata.
Konsekuensinya sih sudah jelas. Orang tidak lagi sekedar memaknai hidup berdasarkan rasa kenyamanan atau kepuasan secara personal. Itu tidak lagi dipandang cukup. Oleh karena ukuran yang ada adalah pencapaian material dan kongkret, maka segala pencapaian, kepemilikan dan keberhasilan harus bisa dihitung. Hanya itu? Tentu tidak. Selain bisa dihitung, maka sudah pasti harus bisa pula dibandingkan. Tolah toleh kanan kiri melihat orang lain dong. Kalo lebih besar bisa tepuk dada dikit bilang bersyukur, kalo lebih kecil merasa belum apa-apa bisa nyinyir dan mengatakan bahwa ada yang keliru di dalam proses. Itulah sebabnya proses menjadi tidak penting. Orientasi lebih ditujukan kepada hasil, target, output, keluaran dan sejenisnya. Apa yang kongkret harus bisa dipegang dan dirasakan. Ada duit yang bisa dibelanjakan, ada karir yang bisa kelihatan punya power, ada kesuksesan yang bisa diukur dengan kepemilikan.
Maka nggak heran jika para motivator tidak lagi membahas soal kenyamanan cuma berdasarkan relasi atau hubungan baik, atau sekedar kepuasan manusia terhadap rasa. Ngobrolin gimana caranya menjadi sukses dalam arti kaya, punya ragam investasi dan simpanan, pekerjaan yang ideal dengan gaji besar, ada karir yang bisa menjamin hidup, serta harapan bahwa itu semua akan menjadikan segala sesuatu lebih bermanfaat, bermakna dan berdaya guna buat kepentingan diri sendiri, orang banyak, nusa bangsa. Nggak ada lagi pantun atau kata-kata mutiara yang mengawang-ngawang membahagian sementara. Hidup ini sudah susah dan berat kok. Kalo nggak ada jalan keluar secara kongkret, lantas buat apa?
“Suppose you woke up one morning to discover that you were the last person on earth. [...] In the situation described, you could satisfy many material desires that you can't satisfy in our actual world. You could have the car of your dreams. You could even have a showroom full of expensive cars. You could have the house of your dreams - or live in a palace. You could wear very expensive clothes. You could acquire not just a big diamond ring but the Hope Diamond itself. The interesting question is this: without people around, would you still want these things?” ~ William B. Irvine, On Desire: Why We Want What We Want
Tapi yang kerap dilupakan adalah kondisi setiap orang berbeda-beda. Upaya untuk menjadi kongkret atau nyata dalam bentuk hasil itu tidaklah dapat dilakukan tanpa penyeragaman di awal. Semisal orang dengan pekerjaan yang sama sekalipun, tetap ada latar kultural, kebiasaan, motivasi, tanggungan, jangkauan, pendidikan, pemahaman, kapasitas personal yang menjadikan siapapun akan punya keluaran yang berbeda pula. Itulah sebabnya, tidak ada kesepakatan tentang gaji ideal. Seberapa besar untuk mereka yang baru lulus? 5 juta? 8 juta? Seberapa besar gaji top level? 50 juta? 100 juta? Tidak dapat juga membandingkan gaji hanya dari sekedar take home pay atau spending. Menggunakan persentase? rasio? atau ukuran layak yang bagaimana? Oleh karena tidak ada kesamaan seperti itu, maka sulit untuk melakukan komparasi secara pasti. Selain itu, feedback atau umpan balik bagi setiap orang juga tentunya berbeda. Ada yang puas bersyukur bisa dapat lima jutaan perbulan, ada juga yang ngaku dua digit tapi ngedumel nggak pernah puas. Antara yang bersyukur dan gelisah sudah pasti akan beda persepsi terhadap dunia yang dilihat hitam putih.
Yah, nikmati saja orang mau ngomong apa. Entah cuma kata-kata manis atau sok ngasih kiat kesuksesan. Buat mereka, nangis di dalam BMW jauh lebih enak ketimbang ketawa di atas sepeda butut kan?