Di dalam media sosial, semua bisa terwujud. Mau jadi orang yang terlihat saleh, cerdas, keibuan, kebapakan, cinta lakik atau bini, sayang keluarga, sukses, ceria, senang, punya segala hal, nggak kekurangan apapun bisa saja terjadi. Semua adalah hasil polesan atau sekurangnya menutupi kelemahan, ketidakberdayaan dan ketidakpuasan. Sedangkan apa yang dianggap sebagai keberhasilan atau kesenangan harus dieksploitasi habis-habisan. Itu sama persis seperti orang liburan cuma tiga hari tapi upload fotonya bisa sebulan atau diulang tahun depan. Biar kelihatan hepi terus membuat orang lain cuci mata sirik iri nyinyir hingga baper.
Tidak hanya itu. Seringkali orang malah terperangkap sendiri dengan delusi yang diciptakan. Oleh karena digunakan untuk memanipulasi persepsi orang lain, maka diri sendiri juga sering tertipu mentah. Mulai dari menyangka bahwa urusan popularitas adalah tergantung dari jumlah likes, comments dan followers, hingga pada kata-kata motivasi yang muncul untuk diri sendiri yang dibagikan buat orang lain. Mengapa begitu? Pertama, ada kecenderungan orang untuk tetap terus menguatkan diri dalam situasi nyata yang tidak selamanya menyenangkan. Situasi semacam itu bisa jadi ada sehari-hari, entah setiap saat atau kapan saja. Situasi semacam itu bisa saja mengikis bahkan mehati sehingga pada dasarnya semua orang butuh pegangan. Kata-kata yang menjadi motivasi bisa muncul entah dari pepatah atau kutipan, sedangkan yang dianggap manjur tentu saja yang berbau agama alias dari kitab suci. Itu membuat orang bertambah yakin dan mampu melewati saat-saat yang tidak menyenangkan. Kedua, oleh karena yakin manjur maka biasanya orang akan membagikannya juga kepada yang lain. Bahasa jaman sekarang, share and subscribe. Respons yang didapat bisa saja berbeda. Ada yang demen dan ketagihan, ada pula yang eneg sampai muntah kebingungan.
Nah, motivasi kemudian juga berkembang menjadi dagangan. Awalnya tentu mulai dari popularitas tapi disusul dengan iklan, adsense hingga sponsor. Motivasi bisa menjadi haru biru bahkan melenceng. Sebab di dalam motivasi selalu ada semangat yang menyama ratakan kondisi sekaligus juga menentang kegagalan. Contohnya ya jelas saja seperti anti segala bentuk negatif, harus selalu positif, harus bisa begini begitu. Padahal gagal adalah bentuk yang biasa dan lumrah. Gagal memberi kesempatan untuk beristirahat dan mengvaluasi. Bayangin jika dipaksa selalu terbiasa dengan keberhasilan dan tau-tau gagal. Sudah pasti bingung. Tidak ada berhasil atau gagal yang abadi. Semua silih berganti tergantung tingkatan dan kualitas masalah yang dihadapi. Dengan semakin berat masalah, sudah pasti menuntut kualitas orang yang bersangkutan. Trus masa iya mau diem-diem aja?
“Everything happens for a reason. Sometimes the reason is you're stupid and make bad decisions.” ~Marion G. Harmon
Itulah sebabnya orang nggak butuh motivasi, terutama dari luar. Self motivation sudah pasti bersifat subyektif. Cuma diri sendiri yang tau dan merasakan kondisi sebenarnya. Kalo cuma jadi hiburan ya kata-mata mutiara kek, pantun kek, kutipan kek juga nggak masalah. Tapi jika dihayati dengan sepenuh hati sampe harus berlangganan itu mah sudah kepatil lele eh target orang lain. Motivasi semacam itu tentu nggak akan berguna. Sekarang dihayati, besok lupa lagi. Abis itu anyep. Mantap kan?