Sebuah riset bisnis pernah menyimpulkan bahwa kecenderungan manusia zaman sekarang itu adalahlah serba instan, materialistik dan konsumtif. Maunya serba cepat, ingin mendapatkan hasil yang memuaskan tapi enggan berproses. Segala sesuatu diapresiasi dan dinilai berdasarkan perolehan materi. Selain itu, ada keinginan yang tak pernah terpuaskan untuk bisa menikmati tetapi tidak tersirat sedikitpun untuk kreatif menghasilkan sesuatu. Selagi punya duit, hayuklah. Kalo nggak ada cuan, sedapat mungkin dibikin gratis.
Sepertinya fenomena tersebut sudah menjadi hal yang merata pada masa kini. Terlebih, manusia modern itu pengen kelihatan serba wow. Mau terlihat cerdas, berpendidikan, kaya, keren, sukses cantik ganteng, populer dan juga punya banyak hal yang dibanggakan. Sebab menjadi terlihat bodoh, dungu, miskin, jelek, gembel dan nggak punya apa-apa adalah memalukan. Citra dan polesan jadi penting. Banyak omong dulu, iyain aja dulu, kerjanya belakangan, hasilnya bisa dinego.
Apa yang salah? Tidak ada. Produk semacam itu muncul bukan karena tuntutan zaman, tetapi karena ketidaksiapan orang menghadapi situasi. Awalnya yang leha-leha saja, kemudian jadi kepepet gegara disrupsi banyak hal. Mulai dari teknologi, pandemi sampai sosial ekonomi. Situasi sudah tidak pernah normal lagi, meski dipaksa untu menjadi normal baru. Orang tidak siap dengan perubahan, memaksa diri, menjual imaji, dan hasilnya nol besar. Kenapa tidak siap? Sudah terlalu lama berada di dalam keadaan yang menghanyutkan. Sebelum 2019, semua baik-baik saja. Tapi sekarang kembali mulai dari nol pontang panting. Jangankan bicara keajegan atau kemapanan hidup, mereka yang seharusnya sudah bisa bersantai kini masih pusing karena pekerjaan bisa terancam sewaktu-waktu dan belum tentu menghasilkan secara maksimal. Maka tidak heran sekarang adalah era di mana orang makan orang. Kalo tidak bisa dijilat ya disikat. Rendah hati jadi barang mahal karena ego harus dikasih makan terlebih dahulu. Mau belajar dan beradaptasi jadi urusan belakangan, sebab hajar dulu baru tanya kemudian.
Masalahnya, manusia tidak pernah tahu pasti apakah ini semua ada akhirnya, ataukah hanya permulaan era baru di mana kehidupan menjadi sangat keras. Ini masih pada fase ketika semua menyelamatkan diri masing-masing. Padahal dengan bekerjasama, masalah bisa diatasi dengan lebih ringan. Hanya saja gengsi sudah terlanjur dipasang di muka. Dengan belajar dari situasi, orang bisa mengantisipasi dengan lebih enteng. Sebab sedari dulu sudah biasa berkompetisi dan berpikir keras. jadi jangan heran jika wajah-wajah kaku keram haus duit hingga belaian itu muncul di mana saja. Tuwir pula.
Maka sederhana saja. Jika membebani ya tinggalkan. Jika malah nambah pikiran ya buang. Jika tidak bisa berkolaborasi, ambil jarak. Berkompetisi di zaman sekarang ibarat berlomba adu balap dengan sepeda statis. Boleh paling kencang, tapi nggak kemana-mana juga. udah pegel, capek, hadiahnya tepok tangan. Malesin.