Berprofesi sebagai konsultan, apalagi berbasis riset dan mengerjakan sektor bisnis itu gampang-gampang susah. Gampang jika terbiasa dengan riset itu sendiri, susah karena seringkali riset di dalam bisnis kerap dilihat sebagai biaya dan bukan investasi. Tapi sebelum jauh kesana, paradigma tentang konsultan itu sendiri memang kerap membingungkan. Sebagai profesi, tentu saja ia berbeda dan punya keunikan tersendiri. Misalnya saja dibandingkan dengan guru atau dosen. Meski sama-sama berlatar riset, seorang konsultan tugasnya adalah mencari solusi dari permasalahan yang ada. Solusi pun bersifat praktis, reliable dan temporer sebab masalah akan selalu bisa ditemukan. Beda dengan dosen yang tugasnya adalah menerangkan atau memperjelas masalah. Maka ketika dihadapi masalah soal bagaimana membuat capcay yang baik, seorang konsultan harus dengan cepat mencari cara, metode, menghitung biaya, menentukan komponen isi, hingga ke penyajian capcay. Tau darimana? nanyalah sama tukang capcay. Itu bagian dari riset. Cari data dan kemudian mengolahnya. Kenapa capcay bisa enak atau nggak enak? Itu namanya fact findings, olah lagi. Seorang dosen pastinya akan membahas sejarah capcay, analisis kultural capcay, partisipasi dan dampak capcayisme dan seterusnya. Pernah makan atau lihat orang bikin langsung? Belum tentu, sebab sumber data bisa didapat dari buku capcayologi dan dijadikan kutipan.
Jadi paradigma seorang konsultan akan berbeda pula di dalam langkah selanjutnya. Selain mencari solusi, penguasaan tools berupa riset berbagai metode seperti kuantitatif, kualitatif, visual etnografi dan lainnya juga penting. Meski demikian, hal lain yang menjadi penggerak tentu saja adalah rasa penasaran atau curiosity yang mendalam, kecintaan terhadap sebuah bentuk problem solving, serta kegembiraan ketika solusi yang ditawarkan kemudian digunakan dan memberi dampak bagus. Tentu saja tidak semua konsultan akan seperti itu. Ada yang sudah cukup puas karena dibayar untuk menyelesaikan masalah, ada pula yang kemudian secara perfeksionis mencoba untuk mencari jawaban yang tidak biasa di dalam eksplorasi persoalan.
Selain itu, yang paling penting adalah seorang konsultan juga harus open minded dan sanggup memberikan perspektif baru.
Akan tetapi yang lebih menarik adalah ketika seseorang punya atribut dan ragam paradigma berbeda, kemudian menggunakannya di dalam ruang atau dimensi yang berbeda pula. Misal sebagai seorang pendidik, adalah secara naluriah membuat segala sesuatu menjadi jelas dan terang, tetapi di dalam konteks konsultasi maka bukan itu yang dicari. Ia harus dengan cepat berpindah untuk kemudian menyusun dan menggunakan paradigma problem solver. Demikian pula ketika menulis atau melakukan hal lain, maka cara berpikir yang berbeda harus dapat digunakan.
Selain itu, yang paling penting adalah seorang konsultan juga harus open minded dan sanggup memberikan perspektif baru. Berpikir terbuka adalah karena ia bukan tukang obat yang tahu segala jawaban dan memberi solusi seratus persen. Di dalam bisnis, yang paling tahu permasalah jelas adalah pelaku bisnis karena sudah menjadi day to day problems. Mengapa butuh konsultan? sebab ada perspektif berbeda dan baru yang harus digunakan di dalam menemukan solusi atau jawaban terhadap permasalahan. Jadi bayangkan jika diminta untuk membenahi sebuah penjualan yang merosot 70%, orang yang bukan konsultan sejati akan berkata pecatin aja sales marketingnya, atau bikin panduan tentang sejarah penjualan, atau memberikan gagasan-gagasan konseptual lain hanya mengandalkan common senses dan sama sekali tidak berbasis data apalagi riset. Ngeri kan? Udah sotoy, ngasal pula.
Maka nggak mudah memberi label kepada diri sendiri sebagai seorang konsultan. Dengan beragam ciri dan langkah yang diambil serta tentunya tidak melupakan pembelajaran yang harus didapat dari setiap riset yang dilakukan. Selain portofolio dan reputasi, itu adalah bonus dengan nilai tak terhingga. Menjadi tahu bukan karena sekedar baca, berteori atau cuma ngandelin kuping. Menjadi paham karena melakukan sendiri penelitian, membaca pola, menemukan jawaban dan kemudian melihat dalam perspektif yang lebih baru dan meluas. Sebenarnya, paradigma semacam ini bisa diterapkan dimana saja meski bukan seorang konsultan profesional. Ada banyak hal di luar sana yang tidak dapat dipahami begitu saja, namun dengan membiasakan diri untuk meneliti, maka paling tidak akan ada jawaban yang berbeda ketimbang cuma tau dari sumber-sumber kedua bahkan ketiga. Menarik? Pasti. Tinggal perkara bagaimana memberdayakan riset menjadi investasi, bukan sekedar dianggap buang duit. Itu soal lain. Kerenlah pokoknya.