Da;am sebuah wawancara kerja, interview personalia, atau bahkan introduksi sebuah diskusi dalam konteks human capital, atau mungkin malah sempat jadi renungan sehari-hari, kadang terlontar pertanyaan sepele namun menohok; "lima tahun lagi anda membayangkan ada di mana dan jadi apa?". Pertanyaan semacam itu bisa jadi sulit untuk dicari soal jawabannya sebab banyak orang tidak menyangka serta membutuhkan imajinasi tersendiri. Buat mereka yang terbiasa dengan pola rutin serta sistematis dalam hidup sehari-sehari pun juga belum tentu bisa langsung menjawab, lantara sudah terpaku dengan rutinitas tanpa sempat melihat jauh ke depan. Jadi apa yang ditanya kaitannya bukan kepada sekedar ambition, hope, output atau bahkan result, melainkan purpose.
Itu memang pertanyaan remeh, tapi membutuhkan tiga hal. Pertama, dengan ditanya lima tahun lagi ada di mana dan jadi apa, tentunya butuh ingatan segar dan refleksi tentang lima tahun yang lalu di mana dan jadi apa. Ada apa dengan lima tahun yang lalu? Adakah perubahan yang cukup signifikan atau pasti untuk bisa membawa kepada sesuatu berbeda di masa sekarang? Kedua, korelasinya secara personal dengan situasi pada saat ini. Tidak banyak orang yang mampu dan mau bercermin secara jujur soal diri sendiri, lengkap dengan segala kekurangannya. Apa yang biasa dilebih-lebihkan, apa yang kurang ditutupi. Biasanya kan gitu. Ketiga, situasi yang terjadi dari dulu hingga sekarang itu adalah bahan proyeksi ke depan mau ada dimana dan jadi apa. Jika ada sesuatu yang diinginkan, sanggupkah bisa tercapai secara obyektif berbasis apa yang sudah dicapai saat ini? Cita-cita boleh saja tinggi, tapi jika yang dikerjakan sejak dulu malah tidak ada hubungannya, nggak nyambung, ya tidak lebih dari sekedar angan.
Dengan demikian, pertanyaan semacam itu bertujuan untuk melihat bagaimana komitmen dan konsistensi orang untuk tetap bergerak sedapat mungkin dengan apa yang dikerjakan dan menjadi tujuan hidupnya. Sedapat mungkin lho ya, sebab nggak ada perjalanan yang mulus. Orang tau dalam hidup pasti akan ada aja turbulensi hingga badai yang menjadi tantangan untuk mewujudkan impian yang terkecil sekalipun. Tentunya jadi menarik dengan melihat bagaimana ia berusaha untuk mendekatkan nilai ideal atau cita-cita dengan praktek atau pilihan hidup selama bertahun-tahun dari dulu hingga sekarang. Lihat saja anak kecil yang banyak bercita-cita standar, umum, mainstream dan bisa banget jawabannya; pengen jadi pilot, dokter, aparat negara, atau sekarang yutuber. Nggak ada yang bisa lebih spesifik karena keterbatasan data, wawasan dan juga pengalaman karena faktor usia. Baru ntar gedean dikit perlahan-lahan cita-cita itu mulai berubah. Tapi pertanyaannya adalah, seberapa banyak anak yang kemudian bisa pinya komitmen dan konsistensi mengejar cita-citanya sejak belia? Mau jadi dokter ya tentunya harus belajar serius, masuk ke jurusan kuliah yang sesuai, tau ada konsekuensi biaya, memperluas pergaulan dan pengetahuan tambahan yang berkaitan dan sebagainya. Maka ketika bertahun-tahun kemudian ketika sudah dewasa ditanya apakah pilihan hidup saat ini sesuai dengan cita-cita pas bocah, banyak yang cuma bisa mesem nyengir.
Selain itu, yang terjadi adalah mereka yang sudah beranjak dewasa dan menua secara tidak fair membebankan apa yang tidak kesempaian itu kepada generasi berikutnya. Dulu gegara nggak kesampaian jadi dokter, sekarang maksa supaya anaknya jadi dokter. Apakah sesuai dengan keinginan yang bersangkutan? Belum tentu. Kalau pun nggak sanggup menolak maka dilakukan dengan setengah hati. Atau sebaliknya, para orang tua tidak mempersiapkan diri ketika anak-anaknya punya cita-cita tinggi. Biaya pendidikan tidaklah ringan. Harus ada yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu sebagai sebuah bentuk investment yang outputnya tidak bisa dirasakan sekejap. Maka di jaman gini orang yang mampu mengunyah pendidikan hingga sampai kuliah itu adalah bukan sekedar soal kecerdasan tapi juga keberuntungan. Beruntung masih ada yang bisa ngebiayain. Kalo kagak ya kuliah di udayana; udah ya nak papa nggak punya duit.
Jadi ketika dewasa dan melirik kembali ke masa lalu tentang pencapaian apa yang sudah dibuat, tentu akan mengharukan ketika kerja keras banting tulang makan waktu tercapai bisa membuat dirinya jadi seperti ini sekarang. Selain sentuhan nasib pastinya. Adakah kemajuan yang dicapai? Jika ada perubahan yang cukup besar tentunya pertanyaan tentang lima tahun lagi ada dimana dan jadi apa, bisa dijawab dengan mudah. Kok bisa? Sebab referensi yang dimiliki sudah cukup panjang untuk merumuskan preferensi, profesi, cita-cita, hingga passion. Ada manajemen waktu yang sudah cukup bisa dikelola meski banyak keterbatasan dan kekurangan. Memang mana ada yang mulus kan? Contoh paling gampang ya soal duit; nggak punya puyeng, punya apalagi sebab harus bayar macem-macem.
"Progress lies not in enhancing what is, but in advancing toward what will be." ~Khalil Gibran
Itulah sebabnya pertanyaan seperti di atas muncul bukan untuk melihat sekedar impian atau result yang sudah dicapai, tapi proses apa yang sudah dilakukan. Berlaku bukan cuma buat para pencari kerja atau mereka yang diwawancara, tapi jadi patokan dasar siapapun juga. Mampukah seseorang melihat potret situasi obyektif tentang dirinya sendiri? Cocok nggak antara yang diinginkan, yang diomongin, yang dilakukan? Itu terlihat dari jejak rekam, referensi dan juga interaksi yang berlangsung. Kenapa penting? Dengan melihat proses yang sudah dilakukan, akan punya deskripsi yang cukup tentang bagaimana seseorang itu mengambil pilihan, memutuskan tindakan, punya pengalaman, habitat macam apa yang ia tinggal, komunitas seperti apa yang ia hidup, interaksi bagaimana yang ia jalani. Merangkai antara pengalaman masa lalu, kondisi sekarang dan harapan ke depan bukanlah soal mudah buat siapa saja, apalagi kalo mau tampil kinclong mulus di hadapan banyak orang.
Nah, bayangkan jika situ terlalu asyik dengan diri sendiri. Berandai-andai sejak muda sudah beruntung lebih dari cukup. Begitu menghadapi pengalaman tidak menyenangkan, gampang untuk menjadi reaktif. Dinamika yang muncul malah menjadi konflik tak berkesudahan baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Dengan kata lain, sulit bisa sejalan dan bekerjasama dengan orang lain dalam jangka waktu relatif panjang serta menghasilkan. Kalo ada kesempatan, apa aja juga disikat main embat. Hidup hanya diperlakukan berpindah dari satu titik kepada titik kesempatan yang lain. Pas mulai uzur baru sadar bahwa selama ini menggantungkan harapan bahkan hidup pada orang lain. Terkaget-kaget ketika harus mengemban tanggungjawab. Terus ditanya, lima tahun lagi ada dimana dan mau jadi apa? Ya bakal bingunglah jawabnya. Sekarang aja nggak tau diri siapa. Kan lucu aja.