Manusia itu suka aneh dan sering jadi ngehe. Di satu sisi pengen bisa mengubah nasib, mau sesuatu yang lebih baik dan berbeda dengan yang lain. Tapi di sisi lain di sadar betul bahwa untuk yang lebih baik dan berbeda itu butuh pengorbanan, berupa proses berat nan pahit serta hasil yang seringkali belum memuaskan. Alih-alih kebelet pengen cepet, malah ada juga yang kemudian puter arah, atau bahkan duduk diam nggak ngapa-ngapain. Sebab proses memang bakal memakan waktu, menyita pikiran, keluar keringet bahkan biaya. Ada gitu yang serba gratis? Ya nggak ada. Kalo ada pun cuma gimmick.
Tapi itu semua memerlihatkan bahwa keberhasilan atau kesuksesan terhadap sesuatu yang dinginkan adalah privilese dan mahal nilainya. Tidak semua orang bisa begitu. Modal niat aja nggak cukup. Sebab langkah pertama adalah jelas mengorbankan kenyamanan. Nah, kenyamanan pertama yang bakal hilang adalah bagaimana bisa masuk dan menjajaki suasana, lingkungan, habitat bahkan ekosistem yang baru. Mengenal mereka yang berbeda dan memberi perspektif berbeda. Misalnya saja menggeluti suatu hal dimana di situ kita adalah orang baru. Fucking New Guy. Blom kenal siapa-siapa. Blom tau harus apa. Bahkan nggak ada sebiji pun tanda bahwa kita bisa apa.
Meski demikian, jika berhasil melewati itu pun bukan berarti kita lantas jadi yang merasa paling senior, paling tau dan paling bisa. Sebab itu juga yang menimbulkan kenyamanan. Maka jelas bahwa nyaman adalah perasaan emosional yang bersifat manipulatif. Dengan memegang kenyamanan dan ogah diganggu gugat, maka seolah perspektif yang muncul dari situ adalah yang paling benar. Jadi jika ditarik ke awal, tidak semua orang punya nyali untuk bisa memulai sesuatu lantaran tidak punya referensi apapun. Coba saja masuk ke seuatu habitat yang berbeda dengan kebiasaan sehari-hari. Sudah pasti langsung ngacir nggak betah, nggak tahan dan gerah. Terus mau kemana? Padahal semua situasi yang menjadi syarat perubahan adalah situasi yang demikian. Kalo nggak, ya muter-muter aja di tempat.
“When a person becomes comfortable with stupidity, it eventually defines him/her.” ~ Vincent Okay Nwachukwu
Itulah sebabnya privilise dan harga yang harus dibayar biasanya setimpal dengan yang didapat. Maka banyak orang mendadak bosoh ketika memegang erat kenyamanan, tidak peka terhadap hal-hal baru, tidak sanggup memandang setiap konflik atau gejolak yang terjadi, tidak juga berani untuk melangkah ke depan. Itu sama dengan kritik yang serringkali muncul tapi nggak digunakan untuk berkaca kepada diri sendiri. Sebab maennya kurang jauh. Terlalu cemen untuk bisa melihat bahwa diri ini adalah bagian dari perubahan itu sendiri jika menuntut harus ada perubahan atau perbaikan. Diri ini nggak lebih dari seonggok daging berjalan yang merasa sudah cukup, kepedean bahkan bisa mengatasi semua tanpa mengukur lebih jauh. Lantas apakah yang diukur itu cuma sebatas jangkauan? Berarti bener kan, maennya kurang jauh.