Manipulasi adalah upaya untuk mempengaruhi pikiran, emosi dan mental orang lain agar sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Berbeda dengan konteks marketing yang memang sering terang-terangan dilakukan dengan target tertentu, manipulasi dalam konteks personal justru dihindari karena dianggap tidak terbuka dan tidak jujur. Pengertian manipulasi sendiri sebenarnya netral, tapi gegara digunakan untuk menipu, makna kata tersebut menjadi bias dan negatif. Lantas mengapa ada orang yang cenderung melakukan manipulasi dalam relasi personal? Pertama, tidak semua orang mampu membuat ide atau gagasannya bisa diterima dengan utuh oleh yang lain. Kedua, tidak semua orang diasumsikan sehat atau baik secara fisik, psikis, pikiran, mental bahkan jiwa. Akan ada saja orang yang memang dianggap toxic karena berusaha menutupi kekurangan atau kelemahan namun bukan dengan improvement, melainkan membuat orang lain harus terlihat lebih kurang atau lemah ketimbang dirinya.
Kebiasaan semacam itu jelas menghasilkan perilaku yang korup; relasi sosial menjadi macet karena yang bersangkutan lebih banyak mengumbar janji sebagai bentuk positioning yang harus bisa diterima banyak orang. Selain itu, orang lain harus terpaksa menerima model interaksi yang berat sebelah bahkan cenderung parasitis lantaran memang tidak pernah ada kemajuan apapun yang bisa diandalkan. Mengapa ada yang bisa begitu? Memang ada sih yang secara kejiwaan bermasalah dan bukan urusan orang lain untuk mengingatkan apalagi menyembuhkan. Sebab tidak pernah ada yang tau kondisi sesungguhnya ketimbang yang bersangkutan. Ada juga orang yang menjadi beracun karena malas, minder dan enggan untuk punya kontribusi lebih ketimbang yang lain. Hal-hal seperti pengen gratisan, ogah keluar biaya, bahkan ditanggung orang lain adalah ciri bahwa toxic bisa mulai dari level mana saja dan menjangkiti siapa saja. Jika terjadi ketidaksetujuan atau konflik, maka akan ada saja cara untuk menunjukkan bahwa itu datang dari orang lain dan bukan dirinya.
Seperti apa bentuk manipulasi yang dilakukan? Pertama, akan ada kecenderungan untuk memutarbalikkan fakta. Bilang A, tau-tau B, atau menuduh orang lain C. Penyimpang siuran semacam ini adalah strategi untuk mengaburkan situasi yang dapat memperlihatkan keadaan sebenarnya. Maka berbohong, melakukan klaim, adalah hal yang sudah jamak dan biasa dilakukan. Orang tidak dapat lagi membedakan apa yang benar dan tidak benar. Berjanji bukan lagi untuk ditepati, tetapi sebagai bentuk penghindaran dari janji yang lain. Omongan tetap keluar sebagai omongan dengan tujuan seolah ada aktivitas atau kegiatan yang berarti. Padahal sih ya tujuannya tetap pamer aja tanpa maksud diseriusi. Oleh karena itu, inkonsistensi adalah kata kunci untuk melihat sejauh mana dan seperti apa yang ditawarkan mereka kepada orang lain.
Kedua, muncul agresi baik bersifat pasif maupun aktif. Agresi pasif seperti sengaja datang terlambat, tidak melakukan apa yang menjadi tugasnya, tidak berupaya membangun komunikasi dengan baik, menunda atau mengulur waktu dan seringkali melepas tanggung jawab. Hal yang sering kita lihat adalah saat orang bilang "terserah" atas segala pertanyaan, nah itulah bentuk agresi pasif. Tujuannya bukan sekedar buang badan tapi melempar solusi kepada pihak lain. Sedangkan agresi aktif adalah menganggap orang lain yang tidak sejalan haruslah disingkirkan. Terlebih seperti cancel culture atau budaya pengenyahan dalam menjadi kebiasaan baru untuk menolak orang yang tidak disukai. Agresi aktif semacam itu jelas adalah kepengecutan karena di satu sisi rajin mencela menyindir di belakang orang tapi di sisi lain menolak secara tidak terang-terangan. Jangankan berhadapan, untuk mendiamkan saja juga tidak dilakukan karena tetap agresif kan?
Ketiga, orang yang manipulatif biasanya akan selalu mencoba bercanda kasar untuk menyakiti yang lain. Inti tujuannya sama seperti bullying, tetapi dengan agenda spesial agar yang dituju menjadi tersinggung. Jika orang itu marah dan kemudian bereaksi secara ofensif, maka si manipulator akan kegirangan sebab dengan demikian ia mudah menuding bahwa orang yang dibully tidak punya sense of humour, tidak bisa memahami dinamika relasi, bahkan tidak punya niat yang tulus dalam berinteraksi. Ah, lagi-lagi putar balik fakta kan? Konsekuensinya, orang yang menjadi target si manipulator akan merasa bersalah sehingga kehilangan daya untuk meneruskan hubungan sosial yang ada. Taktik yang sering digunakan adalah mencari-cari kelemahan orang lain dan dieksploitasi sebagai pembusukan berupa gosip kepada orang lain. Jika tidak ditemukan kelemahan, maka cara yang digunakan adalah mencoba merendah tapi bermaksud menyindir. Di matanya, semua nggak ada yang beres.
Keempat, ketika sudah pada fase di mana orang merasa bersalah dan pandangan publik dipertajam oleh cancel culture, maka si manipulator semakin yakin bahwa dirinya selalu benar. Tidak akan pernah ada kesalahan setitik pun di dalam dirinya. Jika ada, mana mau diaku dan itu sudah pasti gegara orang lain. Pada di titik ini juga seharusnya orang lain waspada, karena perilaku tersebut sudah sampai pada pintu gerbang narsisistik yang akan menuju megalomania hingga sosiopatik. Seandainya keempat hal di atas muncul maka sudah sepatutnya untuk menjaga jarak atau mendiamkan.
“Playing the victim role: Manipulator portrays him- or herself as a victim of circumstance or of someone else's behavior in order to gain pity, sympathy or evoke compassion and thereby get something from another. Caring and conscientious people cannot stand to see anyone suffering and the manipulator often finds it easy to play on sympathy to get cooperation.” ~ George K. Simon Jr., In Sheep's Clothing: Understanding and Dealing with Manipulative People
Lantas kenapa bisa ada orang bisa sedemikian manipulatif? Alasan juga bisa beragam. Mulai dari perasaan minder, malas atau memang genetik dan kejiwaan, tidak ada yang tau. Satu hal yang pasti, berbohong adalah cara untuk mengontrol dan mengendalikan situasi meski bersifat superfisial dan temporer. Meski biasanya juga sudah banyak yang jaga jarak dan mendiamkan, para manipulator masih juga tidak sadar, atau emang nggak mau tau. Bahkan banyak di antara para manipulator ini menunjukkan seolah tidak ada apa-apa. Ego yang besar mengharamkan adanya kesadaran utuh bahwa sebuah dinamika relasi sosial harus berjalan sehat tanpa harus berpura-pura. Dengan demikian buat dirinya jika semakin palsu, semakin superfisial ya semakin asik. Nggak mau kelihatan lemah apalagi bersalah. Sama seperti pura-pura bahagia dan harmonis padahal rapuh juga. Bahayanya sudah jelas; ketika berbohong dan manipulasi dilakukan terlalu banyak, maka tidak ada inkonsistensi yang bisa dilakukan. Jalan yang dipilih akhirnya argumentum ad nauseam; ngibul segede-gedenya sampai semua orang terbiasa dengar dan menganggap itu adalah benar. Resikonya, si pembohong lama-lama juga termakan dengan omongan sendiri. Keterusan dong. Jadi urusan kita? Janganlah. Lebih baik menjauh.