Ketika filsafat sekarang lagi jadi trend buat manusia pasca modern saat ini, pilihan-pilihan seperti Stoicism atau Stoa (kadang ada yang bilang Stoik, tapi itu agak keliru sih) jadi favorit buat mereka galau, kosong, anyep dan nyaris kehilangan pegangan hidup. Buku-buku, seminar bahkan perbincangan entah di podcast atau diskusi manapun sejak beberapa tahun lalu memperlihatkan kegandrungan akan filsafat Stoa dari Yunani ini. Sekedar info, filsafat Stoa ini dicetuskan oleh Zeno pada abad Ke-3 SM dan kemudian populer melalui pemikiran Seneca, Epistetus dan Marcus Aurelius.
Para Stoa Yunani ini percaya bahwa kekayaan, status, kuasa dan perawakan seseorang adalah bersifat netral. Artinya atribut semacam itu tidak berpengaruh secara sosial dalam relasi antar manusia. Dengan kata lain, semua orang adalah setara. Nah, dengan berbasis kesetaraan maka gagasan ala Stoa berujud kepada empat nilai yakni kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan kesederhanaan. Atas keempat nilai itu maka hidup seseorang adalah bertujuan untuk mencapai kedamaian diri di tengah dunia yang sulit dan kacau. Bagaimana caranya? Sudah pasti dengan melakukan kontrol diri, menahan dorongan hawa nafsu, serta sadar bahwa dunia ini bersifat fana sehingga waktu sedemikian singkat. Dengan cara demikian, maka segala latihan baik yang bersifat meditatif dan praktek akan membawa manusia bisa hidup secara alamiah dan tidak berbalik melawan dunia.
Akan tetapi, di jaman seperti sekarang ini pandangan ala Stoa itu sebenarnya mengerikan dan manusia-manusianya juga mengerikan. Pertama, dalam perspektif politik gagasan bisa diperiksa siapa dan bagaimanakah yang membawa dan mempopulerkan pemikiran ala Stoa itu. Boleh dibilang adalah orang-orang menaruh filsafat dalam tataran idealisasi, sedangkan kesehariannya tidak berkutat dengan permasalahan dunia fana. Dengan kata lain, sudah tercukupi lantaran status sosial, tidak memikirkan problem perut dan di bawah perut, serta memiliki eksklusivitas di dalam menuangkan pemikiran tanpa terikat kepada dunia. Pancaran ide yang kemudian ditangkap oleh orang-orang di dunia nyata yang dalam kesehariannya sangat berbeda dengan para pemikir ini. Masih harus berkutat dengan problem sehari-hari, persaingan dan kompetisi yang kerap tidak sehat, situasi yang tidak menguntungkan dan tetap saja tidak pernah bahagia. Maka kucuran gagasan filsafat seolah menjadi madu bagi mereka yang mendambakan penghiburan bahkan solusi untuk masalah yang dihadapi. Nah, cara-cara seperti ini jelas tidak gratis. Filsuf Yunani kuno jaman dulu juga butuh anggur dan daging sehabis ngoceh di depan bangsawan kan?
Kedua, model kontrol diri dan menahan hawa nafsu yang diberikan sebagai atribut keharusan moral menjadi semacam obat mujarab namun berlebihan. Pada prakteknya, kontrol diri itu di satu sisi hanya bersifat superfisial atau cuma kulit-kulitnya doang. Menolak ini itu, tapi basa basi doang. Kalo ada kesempatan ya lepas juga. Atau disisi lain malah jadi kebablasan. Ada yang bersifat asketis sampe nggak ngurusin lagi penampilan dirinya, ada juga yang jadi pembenaran atas sikap tertutup dan kekakuan yang kemudian dibahasakan dalam term seperti introvert yang aslinya sih gak gaul aja. Padahal siapa bilang hidup tidak butuh senang-senang? Siapa bilang kenikmatan harus ditolak? Ada banyak cara untuk bisa menjalani hidup secara lebih menyenangkan ketimbangan membatasi diri hanya dengan konon katanya. Menjadi sederhana bukan berarti kemudian mlarang diri untuk bisa memiliki dan menikmati ini itu. Kontrol diri terkuat juga bukan melarang orang semisal untuk minum-minum, tapi sejauh mana bisa minum-minum tanpa kehilangan kesadaran. Ketakutan untuk kemudian tidak terkontrol hanya dengan sekedar melarangnya adalah bentuk kesadaran terendah sebagai gagasan yang disodorkan oleh para Stoa. Mabok kagak, minum kagak, ngoceh iya.
Ketiga, realitas dunia saat ini tidaklah berubah semakin membaik atau memburuk sejak dulu. Sama saja. Orang masih tetap harus berjuang, menelan kepahitan, menerima kegagalan dan sebanding dengan manis dan sukses yang dialami. Semua silih berganti. Membatasi diri dalam konteks itu sama saja mengandaikan bahwa semua harus bisa positif. Padahal bentuk negatif juga perlu dong, sebagai bahan refleksi atau pembelajaran penting agar tidak terulang. Orang yang menolak pahit dan gagal serta hanya berfokus pada kesuksesan doang ya sama aja mimpi. Lagi-lagi itu hanya mungkin dilakukan dalam dunia mimpi para penggagas yang serba dicukupi, tak kurang apapun, tak pernah merasakan langsung derap dunia yang menginjak dan menindas. Jadi pantas saja dikatakan bahwa filsafat Stoa di jaman sekarang lahir dari rahim menara gading yang kemudian diterima oleh manusia-manusia awam tak mampu membayangkannya. Buat mereka yang pernah ada di menara itu, jelas hampir tidak bisa melupakan racun filsafat yang membayangi meski pada saat ini posisinya sudah berada di luar. Akhirnya filsafat hanya jadi permen karet yang terus dikunyah hingga kecut kering, karena dunia di luar itu dianggap mengerikan. Mampukah bersaing, berkompetisi secara plural? Jelas tidak. Biasa hidup dalam habitat homogen ya jelas pasti nyaman. Akhirnya Stoa melahirkan pribadi-pribadi yang nggak sensitif terhadap dunia luar, bahkan dingin nggak berperasaan. Pokoknya tampil bijak dan disiplin. Selebihnya bodoamat.
"Eat, drink and be merry, for tomorrow we may die" ~tributed to Stoic followers
Maka tantangan filsafat itu adalah bagaimana idealisasi itu bisa sejalan dengan realitas. Itu nggak gampang. Sama halnya dengan pemikiran Stoa yang laris secara marketing dan menghasilkan profit. Akan jelas sangat mencerahkan bagi para penulis dan pemikirnya di jaman gini. Sudah pasti gurih memprovokasi orang agar mencari oase kecil dan jernih di tengah padang pasir terik kehidupan. Padahal adegan itu ibaratnya ada di layar TV yang ditonton sambil ngeramut kacang goreng dan memegang kaleng bir. Asoy kan?