Perhatikan jika ada orang yang kerjanya marah-marah melulu. Pertanyaannya adalah apakah boleh orang marah? Mengapa marah bisa menjadi destruktif? Pada titik awal pemahaman ini, umumnya hampir semua manusia tidak menyukai anger atau rasa marah. Kemarahan harus diredam atau kalo bisa ditiadakan. Itu jelas nggak mungkin. Sebab marah adalah hal yang sangat manusiawi sebagai bagian dari ekspresi. Dengan meredam atau meniadakan rasa marah, sudah pasti akan menimbulkan tekanan dan juga kekacauan emosional lantara tidak bisa mengekspresi kemarahan.
Jadi bisakah orang tidak marah? Nggak bisa. Oleh karena marah adalah ekspresi emosi, maka yang kerap jadi persoalan itu bukan soal marah tetapi cara menyampaikan amarah. Biasanya orang marah karena banyak sebab. Ada yang karena ketidakpuasan, kegagalan komunikasi, bahkan juga ketidaksetujuan dengan orang lain. Menyampaikan amarah juga menjadi hal penting yang patut untuk dipelajari, sebab ada pesan yang harus disampaikan, ada ketegasan yang harus diperlihatkan, tetapi sekaligus mengelola agar dampak marah itu tidak meluas kepada orang lain apalagi diri sendiri. Maka marah dalam hal itu adalah deterrence atau gertakan sekaligus peringatan terhadap orang lain tentang rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar. Jika sudah melanggar, maka jangan sampai mengulanginya sebab akan ada konsekuensi lebih jauh.
Oleh sebab itu, keliru juga jika melihat kemarahan sebagai sesuatu yang kontraproduktif. Dengan berdiam diri seolah mengiyakan, tidak berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah, serta menganggap emosi aktif seperti marah hanyalah merugikan jelas adalah pandangan yang keliru. Ketidakpuasan cuma sampai di hati, ditekan dan lama-lama bisa mati ngenes tanpa pernah mampu berekspresi. Jadi marah itu perlu juga ditunjukkan. Bagaimana caranya? Pertama jelas harus kontekstual dan proporsional. Kepada siapa, soal apa, seberapa luas dan berapa lama. Marah harus jelas ditujukan kepada pihak yang bertanggung jawab langsung, bukan orang lain yang belum atau tidak mengerti persoalan. masalah yang dibahas pun juga tidak melebar kemana-mana. Rasa marah pun juga tidak bisa ditunjukkan berlama-lama, apalagi jika orang yang dituju sudah mengerti duduk perkaranya.
Akan tetapi lagi-lagi banyak orang yang salah paham mengenai itu. Di satu sisi berupaya mengekang rasa marah, tetapi di sisi lain malah ada juga yang tidak proporsional. Apalagi di negara macem Endonesah begini. Lihat saja di jalanan. Ada serempetan kendaraan, langsung nyolot maki bahkan pukul duluan. Ada pelayanan yang tidak memuaskan, langsung tarik kerah main ancam. Padahal bisa jadi yang bersangkutan memang tidak punya intensi atau niat bikin masalah. Bisa jadi orang lain juga sedang menghadapi masalah yang lebih besar. Jadi marah yang dilakukan tidak menyelesaikan, malah menimbulkan masalah lain yang lebih besar dan lebih baru. Itulah sebabnya sebelum marah harus juga melihat bagaimana konteks perkara yang sebenarnya. Empati tetap harus didahulukan sebelum protes dilakukan. Pada titik ini orang biasanya tidak membedakan begitu banyak emosi seperti annoy, dissapointment, displeasure, displease, upset, irritation hingga anger. Gimana dengan wrath, fury, atau outrage yang identik dengan murka? Semua dianggap sama. Dengan demikian, mengelola beragam jenis emosi semacam itu serta mengekspresikannya secara benar masih harus jadi pe er. Sebab memang nggak diajarin. taunya kan cuma kalo nggak gebuk ya merajuk. Boro-boro ngomong di depan yang dianggap kayak cari perkara. Banyak juga yang memilih passive-aggresive seperti ngambeg, pundung, cemberut, ngomong di belakang dan bentuk ketidakdewasaan lainnya.
“You can’t selectively numb your anger, any more than you can turn off all lights in a room, and still expect to see the light.” ~ Shannon L. Alder
Oleh karena itu marah jelas merugikan bukan karena ditahan-tahan saja tetapi jika hanya ditempatkan sebagai pelampiasan belaka. Sebab ada banyak cara untuk menyelesaikan amsalah secara dingin ketimbang mengekspresikan kemarahan sebagai bentuk emosional tanpa bermaksud mencari penyelesaian. Jika pun marah, hal itu harus dilakukan sebagai bridging untuk menunjukkan ketidaksetujuan, ketidakpuasan dan harus tetap kembali mencari solusi. Maka nggak heran jika orang yang 'berhak' untuk marah adalah mereka yang secara dewasa berusaha mencari pintu komunikasi agar masalah yang sesungguhnya bisa diselesaikan dengan cara yang berbeda. Tapi itu adalah hal teramat jarang di masyarakat yang seperti ini. Pokoknya hajar dulu, urusan belakangan. Gimana nggak menyedihkan?
Dapat dilihat bahwa pada akhirnya marah juga berkaitan dengan kecerdasan emosional. Orang yang bisa marah dan tau menggunakan kemarahan secara proporsional adalah mereka yang dewasa secara pikiran. Nggak perlu selalu marah. Hadapi atau tinggal pergi. Sebab jika selalu marah, maka kualitas gagasan dan problem solving yang ditunjukkan menjadi begitu rendah. Begitu juga dengan mereka yang nggak pernah bisa beranjak matang untuk mencapai kesempurnaan akal dan hati; dikit-dikit cari konflik tanpa pernah berniat untuk menyelesaikan. Dikit-dikit menggerutu tapi selalu balik punggung nggak pernah mau menghadapi. Nggak pernah bisa membedakan jenis kemarahan, taunya acung tinju atau ogah angkat telpon. Kecilnya mungkin memang tidak bahagia.