Konon semua orang pada akhirnya membutuhkan aktualisasi diri; pencapaian dan pengakuan yang didapat karena kerja keras dan usaha. Ada yang beneran membutuhkan proses lama, ada yang mau instan dan ada juga yang pura-pura. Tapi kebutuhan soal aktualisasi diri itu dianggap sangat penting. Terutama jika dilihat dari teori piramida Maslow. Aktualisasi diri berada di puncak piramida. Paling bawah jelas adalah pencapaian kebutuhan fisiologis seperti makan, tidur dan bercinta. Di lapis atasnya ada kebutuhan yang menyangkut rasa aman seperti punya rumah dan uang. Lapis berikutnya adalah kebutuhan dicintai seperti punya keluarga dan relasi sosial. Baru lapis selanjutnya adalah rasa percaya diri sebagai modal untuk pencapaian dan pengakuan. Nah, paling puncak adalah hasil yang didapat dari pencapaian dan pengakuan itu adalah aktualisasi diri, berupa pencapaian penuh dari segala potensi yang dimiliki. Mirip gabungan antara keinginan dan bakat.
Pertanyaannya adalah, apa iya aktualisasi diri adalah sebuah pencapaian yang dikejar secara sistematis semacam itu? Apakah aktualisasi diri pada hakekatnya dibutuhkan oleh semua orang? Jika aktualisasi diri adalah sama dengan menjadi otentik, mengapa ada orang yang berhasil dan ada yang tidak? Ambil saja contoh tentang awal dari sebuah cita-cita. Sejak masih belia jaman dulu, orang ditanam di kepalanya untuk menggapai angan yang dianggap bisa sejalan dengan kebutuhan akan rasa aman dan nyaman. Nggak heran jika nanya anak kecil kalo udah gede mau jadi apa, pasti mau jadi dokter atau pilot. Itu identik dengan membuat pencapaian dan pengakuan yang tertinggi, karena profesi tersebut dianggap sebagai jaminan mutu buat memenuhi kebutuhan terdasar hingga aktualisasi diri yang tertinggi. Kasarnya, mana ada dokter atau pilot miskin. Dah gitu pasti jadi kebanggaan. Otentik kan?
Tapi dalam prakteknya tidak segampang itu. Jutaan anak kecil boleh saja punya jawaban yang sama, tapi merealisasi cita-cita hanyalah sekedar angan. Amat jarang orang membayangkan diri mengambil pilihan yang dianggap tidak memenuhi kebutuhan sesuai deng piramida Maslow. Misalnya saja menjadi musisi. Bisa saja ditertawakan banyak orang sambil berceloteh, emang bisa ngasih makan apa? Musisi jelas membutuhkan pelatihan keahlian yang intensif, mencari nafkah dengan bermain musik artinya membutuhkan kejelian untuk mendapat peluang tampil dan dibayar untuk paling tidak memenuhi kebutuhan dasar. Inspirasi yang didapat juga banyak mendengar karya orang lain dan sedikit dari sekedar imajinasi personal. Belum lagi konon katanya godaan dalam soal uang, hidup bebas hingga narkoba. Bisa-bisa mati bunuh diri ntar. Terus bisa apa? Melihat reaksi dalam konteks norma masyarakat semacam itu, maka banyak orang yang punya talenta musik akhirnya memupus harapan diri. Mereka yang menjadi musisi beneran sejak awal bisa dihitung dengan jari. Musik menjadi hobi yang hanya sewaktu-waktu ditampilkan. Kalo punya cukup waktu dan uang, barulah hobi itu bisa diasah kembali. Bermain musik akhirnya menjadi kebutuhan sampingan setelah pekerjaan primer sudah dilakukan. Atau mencari solusi jalan tengah seperti jadi dokter dulu deh kemudian biar bisa main musik. Tapi sayangnya tidak semua orang punya kesempatan dan waktu sebagus itu.
Secara tidak langsung, norma masyarakat itulah yang kemudian menentukan seseorang mau menjadi apa. Tidak ada yang otentik di sini. Sejak awal aktualisasi diri lebih banyak ditentukan oleh persepsi. Maka tidak mengherankan jika pola kerja delapan jam sehari, harus ngantor, harus punya rumah dan kendaraan, harus berkeluarga dan punya anak, harus ini itu menjadi sebuah standar baku yang normatif di dalam hidup bermasyarakat. Orang tidak dapat lepas dari pencapaian semacam itu dan berkutat mulai dari kebutuhan dasar hingga tengah di dalam piramida Maslow. melepas diri untuk bisa menjadi otentik dan mencapai aktualisasi diri serta mendapat pengakuan dalam pilihan ideal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin jika sehari-hari pun masih tetap harus berkutat di setiap level piramida yang sama atas bawah? Emangnya makan cukup sekali dan aman sesudahnya? Emangnya kalo dah punya rumah sendiri, urusan selesai nggak pake biaya lagi buat renovasi dan lain-lain? Emangnya kalo dah punya pekerjaan, bakal awet seumur hidup nggak perlu cari lagi? Nah.
"Hope in reality is the worst of all evils because it prolongs the torments of man." ~Friedrich Nietzsche
Sudah jelas untuk mencapai puncak tertinggi dalam piramida tersebut adalah hal yang nyaris mustahil. Kalo pun bisa, tidak akan pernah bisa permanen. Dapet ujung-ujungnya aja udah bagus. Harus tetap bisa diulang lagi dari bawah. Selain itu, suka atau tidak norma yang berlaku di dalam masyarakat masih tetap berlaku untuk menentukan mana yang ideal dan mana yang bukan. Apa yang berlaku di dalam keluarga, komunitas hingga lapisan masyarakat terluar itu menentukan pola berpikir, pilihan dan juga keinginan yang setidaknya sejalan. Kebebasan selalu bertemu denga rambu yang dianggap sebagai sebuah kelaziman bahkan kepantasan. Jadi kalo mau bercita-cita jadi dokter, pilot, atau musisi tergantung bagaimana penerimaan dan juga dukungan yang ada. Artinya, menerima dan memeluk kenyataan jauh lebih penting ketimbang cita-cita yang dianggap terlalu imajinatif dan beresiko di dalam lingkungannya. Itu kenyataan pahit memang. Nah, kalo gitu bakal nggak maju-maju dong? Atau malah sebenarnya tidak ada yang ideal? Sayang sekali nyatanya memang tidak ada. Kalo pun ada, jumlahnya cuma seuprit dan nggak bisa dihitung. Akhirnya, piramida Maslow hanya jadi tempat naik turun semua orang untuk berusaha memenuhi kebutuhannya berputar tiada akhir. Sesekali bolehlah ada pencapaian, tapi tetap saja jangan lupa bayar tagihan. Maka masa depan begitu cerah, tapi syarat dan ketentuan berlaku.