Kebanyakan orang di Endonesah itu suka aneh; tidak terbiasa memberi apresiasi, tapi juga seringkali butuh pujian. Apresiasi sendiri juga bukan sekedar pujian kayak situ bagus, keren, pinter, ganteng, cantik dan sebagainya. Apresiasi adalah cara menghargai orang lain agar lebih bisa bersemangat, punya motivasi lebih dan bisa menjadi lebih baik. Jadi apresiasi bukan sekedar kata-kata indah dan kosong. Itu sih ngejilat namanya. Sebaliknya, apresiasi juga suka disalahtafsir hanya sekedar penghargaan secara material. Ujian bagus, dibeliin sepeda. Pacar lagi mutung, diajak ngopi. Membahagiakan orang tua, dikirim jalan-jalan. Harga sepeda, kopi dan ongkos jalan-jalan itulah yang jadi pertimbangan utama ketimbang urusan sesungguhnya. Sudah pasti sering terpikir, dengan mengapresiasi secara materi akan jauh lebih berharga karena bersifat tangible atau terlihat, bisa dipegang dan dirasakan.
Tapi yang menarik adalah, mengapa sih kita tidak terbiasa sehingga jadi gagap untuk urusan apresiasi. Pertama tentu saja adalah alasan kultural. Mayoritas dari kita tidak besar dan terbiasa dengan kebiasaan ekspresif untuk mengungkapkan perasaan. Suka atau tidak suka, dibawa diam. Kalo ngomong ntar dibilang nggak puas, nggak malu, nggak tau diri. Pelit pujian malah dianggap cara terbaik untuk memberi motivasi dengan ukurannya tersendiri. Kalo didiemin, berarti sebenarnya bagus. kalo dipuji, artinya malah standar. Kalo jelek? Sudah pasti dimarahi. Ketiga, dengan besar dalam kondisi tersebut maka banyak orang menjadi gagap ketika diapresiasi. Kalo nggak merasa tersinggung karena seakan dijilat atau malah nanya, hadiahnya mana? Jadi memang sedari awal sudah tidak terbiasa.
Konsekuensinya adalah dengan diperlakukan seperti itu, maka kita cenderung tidak mengapresiasi orang lain. Jangankan bicara soal penghargaan atau motivasi, urusan soal hak dan wilayah orang lain pun cenderung tidak kita hargai. Semisal dalam antrian, banyak yang masa bodoh dan mau menang sendiri. Kalo menyela antrian dianggap barbar, maka ada joki antrian; naruh tas atau barang sehingga orang lain tidak bisa duduk. Demikian pula dengan urusan orang lain yang dianggap juga urusan kita. jadi bergunjing gosip ghibah nggak karuan. Tapi kalo ditanya bagaimana mempertanggungjawabkan komitmen kita terhadap urusan sendiri? Bisa jadi nol besar. Sibuk kepo dengan orang lain, bahkan diri sendiri terabaikan.
Maka tidak mengherankan jika di jaman sekarang, apresiasi bukan saja superfisial dan material, tetapi juga virtual. Banyak orang mengira bahwa pencapaian tertinggi adalah di media sosial, dengan jumlah pengikut, komen dan jempol hingga jutaan. Nah, terbukalah segala lapangan kerja untuk memenuhi hasrat superfisial, material dan virtual dikemas jadi satu kan? Tidak mengherankan jika semakin banyak orang yang lepas menjejak kaki di tanah mengawang meninggi sampi jatuh kesakitan. kekuatan media sosial sudah pasti tidak main-main, selama orang masih mencoba melepas libido di sana. Hanya saja, kondisi nyata bisa pasti berbeda. Seperti di dalam bisnis, sudah pasti praktek dan kejadian di dunia nyata sebagaimana adanya. Media sosial hanya refleksi bayangan semata. Maka mencari apresiasi melalui bayangan sudah pasti melelahkan. Sibuk menjaga citra yang sebenarnya semu dan bisa saja berbanding terbalik dengan kondisi yang sebenarnya.
“Appreciation is a wonderful thing. It makes what is excellent in others belong to us as well.” ~Voltaire
Itulah sebabnya belajar mengapresiasi secara tepat dan proporsional adalah penting. Udah nggak jaman lagi pelit pujian, tapi juga bukan berarti apa-apa bisa dihargai lewat duit atau materi. Memberi pujian secara virtual sebenarnya juga adalah upaya agar bikin nyaman aja. Maka nggak heran kalo disuruh ngasih bintang ke ojol atau penjual onlen, bintang lima seringkali bukan karena servis atau kualitas bagus tapi karena pengen nyenengin aja. Kontras langsung dengan bintang satu yang emang bukan karena jelek tapi marah. Anehnya, kalo ada survei dengan diminta penilaian antara 1 sampai 5, banyak juga orang ngasih 3 karena nggak enakan aja. Dibilang bagus enggan, jelek juga kasian. Jadi mengapresiasi juga masih jadi kendala karena orang enggan terbuka. Sama kayak situ, emangnya situ nggak gelisah, kalo abis posting sesuatu malah dicuekin? Kok nggak ada melihat, mengikuti, kasih komentar atau jempol? Tapi tenang aja, rumusnya kan selalu dari dua yang suka pasti ada delapan lainnya yang mengamati diam-diam. Tapi kalo nggak ada yang kasih jempol, bisa jadi emang jelek aja atau situ nyebelin. Lantas apa yang mau diapresiasi? Maka kasihlah apresiasi, nulis status kan mikir juga ya.