Melalui beberapa berita yang muncul, kita mengenal istilah hoarding; perilaku menimbun barang yang tidak berguna seperti sampah atau benda lain. Keinginan untuk menimbun itu menjadi dorongan yang tidak bisa dilawan dan memang menjadi godaan tersendiri. Bahkan buat mereka yang merasa dirinya normal-normal saja, kadang berpikir "ah siapa tau masih bisa dipake". Ada perasaan kuatir jika seandainya kelak membutuhkan maka barang yang dimaksud tidak tersedia. Untuk bisa membuat pikiran dan perasaan nyaman maka mulailah mengumpulkan.
Perilaku semacam itu jelas akan menganggu diri dan orang lain, sebab lama-lama menimbun akan menjadi semakin banyak dan makan tempat. Bayangkan jika benda-benda tak berguna malah dikumpulkan. Terlebih ada kecenderungan juga yang berlaku umum untuk mengumpulkan sampah elektronik yang sudah rusak, jadul dan tidak terpakai. Padahal ini pun juga tidak ada gunanya. Buat apa disimpan? Tidak lain agar ada pikiran dan perasaan yang nyaman seperti itu. Nggak mau menyesal kalo nanti seandainya butuh. Selain itu, hoarding juga punya karakter masing-masing dan tidak terbatas. Ada juga yang mengumpulkan dalam tingkatan yang serius hingga disebut mengoleksi. Sesuatu yang dikoleksi jelas punya standar utama berupa kualitas. Akan tetapi ada juga yang karena masalah kemampuan maka aspek kuantitas jadi lebih utama. Semisal mau koleksi benda seni; selagi murah meriah banyak ya dikumpulin aja ketimbang beli mahal cuma satu atau dua. Perilaku menimbun juga terjadi tidak hanya pada barang tetapi hewan yang dikenal dengan istilah animal hoarding. Awalnya mungkin terlihat lucu, kasian, tapi lama-lama mulai bertambah banyak juga. Binatang seperti kucing atau anjinglah yang sering jadi sasaran. Mulai dari satu dua, belasan hingga puluhan. efek buruk dari animal hoarding adalah soal sanitasi, kesehatan, pencemaran atau polusi suara dan bau hingga masalah sosial.
Apakah perilaku menimbun punya sejarah tersendiri. Di negara ini, menimbun adalah kegiatan yang awalnya dilakukan dan berkaitan dengan situasi sosial. Pada masa perang di abad lalu, silent generation atau mereka yang lahir di tahun 1928-1945 memiliki trauma tersendiri dengan peristiwa yang dialami semacam itu. Jadi menimbun seperti bahan makanan adalah dianggap sebuah kewajaran bahkan keharusan, yang setelah perang juga masih dilakukan. Maka nggak heran jika kakek nenek yang pernah mengalami getirnya perang, konflik, chaos, depresi ekonomi berpepanjangan dalam situasi sosial politik yang tidak menguntungkan akan punya kecenderungan perilaku semacam itu. Pada generasi berikutnya yang relatif sudah tidak mengalami trauma perang, perilaku menimbun adalah karena trauma yang sifatnya lebih personal dan bisa juga berangkat dari kesenangan.
Terlepas dari latar belakang, menimbun yang memang menganggu juga menjadi masalah yang cukup berat bagi manusia. Pertama, menimbun dilihat sebagai sebuah kegiatan yang terdefinisi sebagai gangguan kejiwaan atau disorder. Tentu saja ini harus dilihat sebagai sebuah masalah yang harus diselesaikan sebab menimbun menjadi refleksi bagi tidak sehatnya pikiran dan perasaan seseorang. Kedua, menimbun berpengaruh tidak saja bagi diri sendiri tapi juga orang terdekat dan lingkungan. Ingin membuat pikiran dan diri nyaman, tapi dunia luar malah jadi terganggu. Dengan demikian seorang hoarder adalah bersifat detach dengan lingkungannya. Asyik sibuk sendiri, enggan bersosialisasi bahkan dalam beberapa kasus malah menjadi antisosial. Ketiga, dalam perspektif sosial, kegiatan menimbun merupakan cermin atau refleksi keresahan yang sesungguhnya. "Jangan-jangan entar begini, jangan-jangan entar begitu". "Siapa atau aja kalo-kalo". Pikiran semacam itu memperlihatkan bahwa masyarakat bisa menjadi overthinking dan mewujudkan atau melampiaskannya dengan menimbun. Mengapa? Ketidakpastian yang semakin besar sudah pasti bikin orang jadi pencemas. Semakin cemas maka perlu media atau sarana untuk melampiaskan.
Eh, itu mouse rusak masih dikumpulin aja? Bahaya bener.