Mungkin sudah banyak orang yang paham bahwa ada hal-hal tertentu yang tidak dapat diumbar di depan umum termasuk media sosial lantaran itu bersifat privasi. Pengertian privasi sendiri adalah kapasitas orang untuk melindungi informasi apapun yang bersifat sensitif dan personal, termasuk didukung oleh lingkungannya agar tidak menyebar dan menjadi konsumsi banyak orang. Privasi awalnya memang mirip celana dalam; tidak diumbar di depan umum dan hanya dibuka pada orang-orang tertentu saja yang pastinya tidak peduli atau mempermasalahkan soal isinya. Sebab privasi adalah hal yang bersipat sengsitit. Ia ada sebagai bentuk kemaluan eh kenyamanan personal yang berkait dengan beberapa hal. Oleh sebab itu, melindungi privasi adalah penting.
“Privacy is dead, and social media holds the smoking gun.” – Pete Cashmore, CEO of Mashable
Hal-hal yang termasuk privasi, pertama adalah penghasilan. Pada masa lalu, orang menutup rapat slip gajinya agar tidak dapat diketahui orang lain apalagi yang memiliki pekerjaan, jabatan dan tempat kerja yang sama. Sebab bisa jadi ada perbedaan jumlah karena masa kerja, prestasi, pilihan dan sebagainya. Demikian pula terhadap keluarga, ia tidak akan membicarakan itu di depan anak atau anggota keluarga lain kecuali pasangannya sendiri. Akan tetapi, hal itu sudah berubah sejak generasi awal milenia ini. Membiacarakan penghasilan dianggap bukan sesuatu yang rahasia. Hal tersebut malah menjadi bersifat kompetitif sebab semua akan saling bertanya, "eh gaji lu berapa disitu? wah gedean elu dong padahal kerjaan kita sama. ada lowongan nggak disitu?". Pertanyaan semacam itu sudah jamak dan perbedaan sekian ratus ribu Rupiah saja dapat mendorong orang untuk berpikir meninggalkan pekerjaan yang ada, tanpa mempertimbangkan soal jarak, waktu, lama kerja. Pengabdian? Come on, itu mah generasi babe guwe yang bangga dibilang kerja puluhan tahun di satu tempat. Entah karena loyal, banyak utang sehingga harus nyicil atau nggak ada pilihan lain untuk berkarir. Maka alih-alih menutupi soal penghasilan, malah boasting atau pamer bisa beruntung mendapatkan satu pekerjaan dengan gaji besar. Kemudian masuklah postingan, "akhirnya bisa ngasih mamah mobil BMW" meski baru brosurnya doang.
Hal kedua adalah soal relasi baik asmara dan keluarga. Dulu orang menutup rapat apa yang dianggap sebagai usaha bahkan aib dalam soal relasi. Akan tetapi dengan media sosial, kini semua bisa diumbar. Bahkan ada pula yang menggunakan itu sebagai strategi pengalihan. Semisal, ngincer anak orang tapi media sosial dipoles dulu biar kelihatan sebagai bujangan, punya duit, keren, mempesona, tampan. Padahal sih tetap bajingan dengan foto asli buluk, masih susah makan, kagak ganteng, pekerjaan gitu-gitu aja dan juga hidup ya segitu aja. Atau mengeksploitasi relasi agar dianggap sempurna, padahal masalah tetap ada. Menampilkan foto bareng anak bini secara intensif, intensional bahkan sensasional, padahal di rumah piring melayang dan pukul-pukulan. Jadi pamer itu malah soal bagaimana publik menjadi semakin terkesan dengan citra atau imaji harmoni yang mau ditampilkan. Maka tidak mengherankan jika semakin banyak orang yang akhirnya mengetahui bahwa apa yang ditampilkan dengan sengaja, bukanlah sesuatu yang mengandung nilai kebenaran.
Hal ketiga adalah soal rencana masa depan. Itu pun kalo punya. Sebab pada masa begini semakin jarang pula orang bisa membuat prediksi, menjalankan apa yang sudah menjadi skenario di dalam hidup. Entah karena wabah, bencana alam atau perang, semua bisa berubah drastis. Akan tetapi rencana tetaplah rencana, kecuali jika memang serius dikerjakan. Lagi-lagi, media sosial memperbesar angan dengan menampilkan rencana hingga level yang bersifat delusional. Bangga? Pasti. Meski cuma konsep, tapi paling tidak menimbulkan decak kagum baik orang lain maupun diri sendiri. Istilah "bekerjalah dalam senyap, biar sukses yang berisik" tidak berlaku. Lebih baik "omong berisik, giliran kerja baru panik". Mengapa? Paling penting rame-rame dulu. Kalo cuma diam-diam ntar dianggap biasa, medioker, nggak punya pesona. Itu sama seperti promo barang dengan iklan gede-gedean, giliran penjualan baru berasa anyep karena barang bapuk. Mau dipoles kayak gimana, susah dijual. Masa depan suram dong jadinya.
Jadi soal privasi itu sudah beda persepsi di jaman gini. Udah mati. Kalo dulu ditutup biar bisa dikelola, sekarang malah sengaja dibuka sebagai bentuk pengelolaan tersendiri. Lebih tepatnya, pengalihan isu atau bahkan pencitraan. Kalo dulu privasi diperlakukan seperti celana dalam agar tidak gampang diumbar, sekarang privasi ibarat tanpa pake celana dalam sama sekali. Tinggal pelorotin celana luar kapan aja. Pamer dong. Tapi nggak sadar kalo nganunya undersized. Kasian.