Ketika mendengar kata spiritual, orang umumnya mengkaitkannya dengan agama, klenik, mistik, tahyul, perdukunan, orang sakti, aktivitas irasional dan sejenisnya. Padahal spiritualitas adalah bentuk pengakuan manusia kepada dirinya sendiri dalam aspek yang bersifat imaterial. Artinya, ada lho entitas yang lebih besar dari diri manusia yang mengelilingi kehidupan sehari-hari dan tercermin dari tindakan serta reaksi yang didapat seseorang. Tujuannya antara lain ketenangan batiniah, kebahagiaan dan pencapaian-pencapaian non material lainnya. Spiritualisme dianggap barang ajaib yang sulit diterka, sementara manusia sendiri tetap membutuhkan asupan rohani. Maka tidak mengherankan jika spiritualitas dianggap bisa dicari dengan menjalankan perintah agama. Pendapat seperti ini tentu saja tidak seluruhnya benar. Apa yang didapat melalui agama adalah aturan-aturan yang mengikat sebagai praktek seperti ibadah, etika berupa relasi dengan sesama manusia hingga ruang-ruang dasar dan horizontal lain. Ketika berurusan dengan Ketuhanan, maka di dalam agama ada tatacara yang menjadi konsensus untuk dilaksanakan. Menyimpang dari itu dianggap sesat. Padahal spiritualisme adalah hakekat subyektif yang bukan semata untuk mengisi keimanan tetapi ruang yang lebih tinggi berupa dialog batin dengan sang Pencipta. Ruang seperti ini tidak bisa diraih jika pemahaman keberagamaan hanya sebatas gerak kolektif dan mendasar.
Spiritualisme juga dikaitkan dengan klenik, mistik, tahyul perdukunan dan sebagainya. Oleh karena spiritual adalah ruang subyektif, maka setiap peristiwa mistik berupa fenomena dalam mendekatkan diri kepada Ilahi tidak dapat diceritakan begitu saja. Ada fase, kesan dan ingatan yang terus berubah dan menjadi penguji bagi lelaku seseorang dalam menjalani kehidupan spiritualnya. Mistik tentu saja berbeda dengan klenik atau tahyul. Mistik adalah pengalaman rohani sedangkan, klenik atau tahyul adalah produk manusia yang digunakan untuk menjelaskan sekaligus mengambil keuntungan terhadap orang lain. Apalagi banyak ajaran yang menjelaskan soal hal gaib sebagai entitas yang harus ditakuti. Tentu saja orang awam akan dengan mudah diperdaya. Oleh siapa? Dukun? Istilah dukun sendiri sudah banyak mengalami perubahan hingga jaman ini. Dahulu, dukun adalah sosok spiritual yang berkaitan erat dengan kekuasaan. Praktik perdukunan adalah politik yang digunakan penguasa di dalam pengambilan keputusan, mengatur orang banyak, membuat prosesi, mengadakan kebiasaan ritual dan sebagainya. Dukun jaman sekarang sudah lepas dari kekuasaan, tapi masih tetap merindukan kuasa. Maka tidak mengherankan jika praktik perdukunan tetap digunakan untuk mencengangkan orang sekaligus mendapat keuntungan ekonomi.
Alhasil, nama dukun lama kelamaan menjadi jelek. Yang tersisa paling banter juga dukun bayi atau tabib. Bahkan pawang hujan pun juga basah kecipratan Rupiah. Padahal jika dahulu berhubungan dengan kekuasaan, maka target utama para dukun adalah soal akses politik. Jaman gini yang penting duit. Selain itu, dengan keuntungan ekonomis, maka atribut menjadi penting. Selain atribut, sudah jelas adalah atraksi. Coba saja tanya imaji orang Endonesah soal dukun. Pasti nggak jauh-jauh dari soal bau menyan, keris menyala bisa nyetrum, kumis dan brewok yang tebal, mata mendelik, pakaian tradisional, mulut komat kamit dan seperti kesurupan. Begitu orang tertarik, kontan pasang tarif. Begitu orang melirik, omongannya nggak jauh dari soal klenik dan magis yang konon katanya begitu dari dulu tanpa pernah bisa diceritakan lebih detail.
“Science is not only compatible with spirituality; it is a profound source of spirituality.” ~ Carl Sagan, The Demon-Haunted World: Science as a Candle in the Dark
Padahal spiritualitas adalah nafas yang tidak bisa dibelenggu bahkan oleh agama sekalipun. Sebab ketika agama mengatasnamakan spiritualis, sudah pasti ada unsur kuasa dan dominasi. Tidak ada kebebasan karena semua didikte atas nama Ketuhanan yang sudah dimonopoli. Sebaliknya, jika spiritualitas jatuh ke tangan pemahaman yang semata mengandalkan klenik maka sudah pasti kuasa uang akan berbicara. lantas, bagaimana orang bisa masuk ke dalam spiritualisme di era modern seperti ini? Pertama, mereka yang melangkah masuk adalah orang yang sudah ajeg atau mapan di dalam kehidupan lahiriah atau duniawi. Nggak perlu tajir melintir, tapi setidaknya nggak susah buat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kata lain, pencapaian secara material sudah lebih dulu dicapai. Sebab tanpa dasar kemapanan seperti ini, akan sangat berbahaya dan bisa menggunakan pemahaman dan perjalanan spiritualnya buat cari duit.
Kedua, mereka yang mapan tersebut juga memiliki pengetahuan kognitif, daya analisis, berpikir kritis dan kreatif serta kemampuan untuk bisa melihat segala hal dari beragam latar perspektif. Artinya apapun yang dihadapi dan dialami dalam perjalanan spiritualnya kelak, mereka mampu menafsirkannya dengan akal sehat. Ini sama seperti orang beragama; apa iya praktik yang dilakukan hanya semata karena yakin, percaya, disuruh, ikut-ikutan dan kemudian melihat endingnya hanya sekedar janji surgawi tanpa pernah bisa ditebak lantaran memang nggak pernah ada buktinya di dalam sejarah? Ketiga, jika kemapanan dan pengetahuan sudah ditangan, maka spiritualitas bisa ditekuni dengan perasaan tenang, bebas dan mandiri. tidak ada lagi beban yang memberatkan atau memaksa.
Itulah spiritualitas di jaman modern selalu dekat dengan duniawi. Pencapaian dunia dalah ukuran yang membuat orang menjadi sadar akan bekal dan tujuannya ketika hidup. Menggapai spiritualitas dengan cari duit, tanpa akal sehat, atau semata hanya mengandalkan atribut dan atraksi akan membuat orang jadi mengejar hal-hal yang sulit diraih. Alih-alih bisa tenang bahagia, malah jadi seperti cacing kepanasan bertahan untuk hidup itu sendiri. Mau merasakan surga tapi malah memboyong neraka. Pegel nggak? Ya pegel lah.