Pernahkah mendengar orang yang mencoba bebas nilai? Lepas dari aturan, adab, norma dan apapun yang ada di lingkungan terkecil seperti keluarga hingga yang lebih besar seperti masyarakat? Jika pernah mendengar tentang orang yang terkesan melawan semacam itu, adakah yang berhasil? Jika iya, seberapa lama ia bisa bertahan? Melepas diri dari nilai yang berlaku bukanlah pekerjaan ringan. Ada desakan dari dalam diri yang tentunya harus luar biasa sehingga ia mengambil pilihan semacam itu. Atau sebaliknya tekanan dari luar yang tidak dapat diterima lagi, sehingga bebas nilai adalah pilihan yang haru diambil. Menjadi bebas nilai berarti orang tersebut mencoba untuk lepas mandiri dan tidak tergantung lagi kepada setiap aturan aturan normatif yang berlaku. Orang lain bisa saja menghujatnya sebagai pemberontak.
Akan tetapi, seberapa besar klaim seseorang bahwa ia mampu bersikap independen, berpikir kritis, mandiri, atau lepas dari tuntutan norma yang berlaku, tetap saja ia tidak bisa kemana-mana. Artinya orang tidak ada yang bisa bebas nilai dari lingkungan terkecil seperti keluarga, hingga masyaraka dimana ia berada. Ada gitu individu yang bisa bebas bertindak sesukanya? Nyaris tidak ada. Nilai yang mengikat itu bukan saja soal keluarga. Katakanlah seseorang lepas dari keluarga, tapi bisakah lepas dari lingkungan? Misalnya saja orang tersebut memilih untuk tidak bergaul dan anti sosial. Tapi bisakah ia lepas dari urusan lain seperti soal hidup beragama atau sebagai warganegara? Ikut merayakan hari raya dan punya kartu identitas pastinya. Kalo pun mengatakan tidak beragama dalam pengertian praktek ibadah, bisakah lepas dari kebiasaan yang mengikat pola pikir berkaitan dengan kebiasaan di sekitarnya? Nggak bisa juga.
Mengapa orang tetap terikat dan tidak bisa bebas nilai? Sebab pola pikir yang dibentuk sejak awal usia dini sampai tua tidak lepas dari nilai itu sendiri yang berlu baik di keluarga hingga masyarakat. Apalagi pola berpikir kita masih sangat siklis. Ada proses sosio biologis yang harus diikuti di bawah sadar berkaitan dengan kelahiran, menjalani hidup, berkerja, menikah, punya anak, mengurusnya hingga besar, menikahkannya, kemudian sampe situ mati. Itu dianggap berlaku umum bahkan menjadi sebuah kewajiban moral dan normatif bagi siapapun juga. Mau berpendidikan setinggi apa pun, mengaku semodern apa pun, pola berpikir siklis itu masih tetap melekat. Nggak heran jika selalu ada orang yang katakan sudah bisa mandiri, sukses besar, berpendidikan tinggi, bahkan bergaya hidup modern atau malah liberal, tapi kepalanya pusing soal pulang kampung, kerja harus di kantor, harus menikah segera, harus punya anak, kelak mendapatkan anak jodoh yang sesuai, bahkan pening ntar mati mau dimana dan kayak apa. Semua keharusan yang datang entah dari mana. Miris.
Keterikatan orang terhadap nilai tersebut membuat cara berpikir yang awalnya dikira sudah bisa menjadi lebih modern bahkan berbalik cenderung konvensional. Kebebasan hanyalah sekedar cecapan pengalaman tanpa berniat untuk menjadikannya sebagai sebuah wawasan baru. Maka nggak heran jika banyak orang jadi kagetan. Mengaku modern atau liberal, tapi sebenarnya idealisme yang dibangun masih berpijak pada nilai konservatif. Penampilan boleh saja keren dan canggih, wawasan terbuka tapi prakteknya tradisional. Perilaku boleh saja coba-coba lepas dari kaidah atau norma awal yang berlaku, tapi tetap saja pada titik tertentu akan kembali lagi. Semisal mencoba minuman keras atau seks bebas secara diam-diam, tapi urusan daging matang satu itu adalah harga mati yang tidak boleh disentuh.
Apakah keliru? Jelas tidak. Modernitas dan teknologi dianggap hanya memberi kemudahan-kemudahan di dalam hidup, tapi tidak berlaku kepada pilihan di dalam hidup itu sendiri. Orang masih terbiasa untuk menjadi modernitas dan teknologi sebagai kulit impresi, tapi bukan pada keputusan-keputusan yang diambil. Mereka yang sudah bisa mandiri, tetap saja tidak bisa independen dalam mengambil keputusan. Mereka yang independen sekali pun, nggak mampu untuk bebas nilai. Contoh saja orang terdidik yang sudah bisa mapan menghidupi dirinya sendiri, masih pusing berpikir soal menikah. Wajib? Buat dirinya adalah kewajiban moral dan sosial. Okelah menikah. Kemudian pusing lagi harus punya anak? Alasannya tetap sama. Punya anak pun bakal pusing lagi soal jumlah lelaki atau perempuan. Sampai kemudian besar dan ditinggal, peningnya juga nggak hilang. Jadi nilai itu kerap tumbuh bukan saja karena desakan lingkungan, tapi rasa takut, enggan, sungkan dan kuatir dari diri sendiri.
Berarti mau semandiri apapun, tidak ada yang bisa bebas nilai. Berkompromi atau meilah-milah saja bakal sulit. Padahal nilai masyarakat sendiri adalah refleksi atau cermin dari keputusan sekumpulan individu. Artinya, lebih banyak orang yang memilih untuk tetap memegang kewajiban moral dan sosial, memilih untuk tetap tradisional atau konservatif, karena rasa aman. Sebab insecurity itu dianggap terlalu beresiko dalam pilihan hidup yang lebih bisa bebas nilai, memeluk modernitas dan liberalisme hingga ke akar-akarnya. Tapi paradoksnya justru terjadi disini. Menjauhi modernitas dan liberalisme karena nggak mau insecure, tapi tenggelam dalam tradisionalisme dan konservativisme nilai yang tak berkesudahan dan menimbulkan rasa tidak nyaman alias discomfortable. Dilema ya? Mau aman tapi tidak nyaman, mau nyaman tapi nggak aman.
"Modern life is always experienced as a struggle: to impose one's individuality on the world, one has to work against the fabric of modern culture itself and uphold ultimate values in the face of purely instrumental and ever more 'rational' forces." ~Nicholas Gane
Maka nggak heran jika sebagian besar orang jadi aji mumpung. Selagi muda bolehlah hura-hura, ntar tuaan dikit baru tobat. Asal jangan kumat. Muda bisa lepas bebas mencoba apa saja, tua dirundung rasa malu dan bersalah sehingga bisa lebih keras lagi terhadap generasi di bawahnya. Muda bisa suka-suka, tapi begitu menua harus bisa 'tau diri'. Nah, ini menjadi pola lagi yang terus berulang sehingga pada dasarnya memang tidak ada yang berubah. Pola adaptasi adalah berkembang kepada penyesuaian nilai terhadap perkembangan jaman tapi esensinya tetap tidak berubah. Sebab biar gimana juga, identitas itu penting kan? Menjadi bebas nilai adalah melepas identitas, dan kamu nggak bakalan kuat. Terlalu berat. Jadi jangan pernah ngaku bisa bebas nilai, hidup selepas mungkin. Ibarat burung cabe-cabean tetap aja balik ke sarang kan?