Orang yang memberi terlalu banyak, bermurah hati, nggak enakan kalo dimintai apapun, nggak bisa nolak, adalah orang yang paling berbahagia sekaligus bodoh dan tidak punya prestasi. Mengapa? Sebab ia hanya ada untuk dimanfaatkan orang lain. Entah karena minder, lugu atau blo'on aja. Meski demikian, ia senang menjadi berguna. Melihat orang lain senang ikut senang. Cuma jangan ditanya, apakah sempat memikirkan diri sendiri? Belum tentu juga. Bisa jadi malah dirinya keteteran karena sibuk ngurusin orang lain.
Orang yang mengambil terlalu banyak, kemaruk, mau enaknya aja, pengen gratisan, adalah orang yang resah tapi cepat membaca peluang atau situasi. Mengapa? Sebab ia selalu melihat kegunaan orang lain. Relasi yang berkembang juga bersifat pragmatis. Kalau ada untung baru nongol, kalau nggak ada guna ya basa-basi aja. Orang macem gini, nggak senang lihat orang lain lebih senang. Prinsipnya adalah dirinya duluan, baru yang lain. Mengambil sebanyak-banyaknya tapi tak pernah memberi bahkan berterimakasih pun sulit. Ia fokus dengan diri sendiri, ambisius meski sebagian besar dengan keringat orang lain.
Orang yang berimbang antara memberi dan mengambil, juga sebenarnya sama saja. Mereka berhitung dengan cermat apakah memberi atau mengambil yang dilakukan bisa punya manfaat. Relasi dengan orang lain pun penuh pertimbangan. Seberapa bisa memberi dan mengambil tentu saja melihat dengan siapa ia berhadapan. Maka apakah memberi adalah tulus? Belum tentu. Demikian pula dengan mengambil, adakah sepadan dengan usaha yang diberikan? Interaksi yang dibangun jelas harus punya benefit buat masing-masing pihak meski ukurannya kembali dipertanyakan.
Maka memberi itu tidak gratis, mengambil juga bisa eksploitatif; menguras kepemilikan orang lain. Rela atau tidak rela, suka atau tidak suka, semua orang akan punya ukuran masing-masing. Ini menyedihkan memang, sebab tidak ada yang ideal. Nah, situ biasa memberi, mengambil atau keduanya?